Pada saat umat manusia menghadapi berbagai tantangan alam, hutan menjadi lebih penting dari sebelumnya. Hutan memberikan solusi untuk mengatasi dampak perubahan iklim, keanekaragaman hayati, pertanian berkelanjutan sampai pada ketahanan pangan. Semua itu membutuhkan suara dan partisipasi perempuan yang setara tentang bagaimana hutan dilindungi, digunakan, dan dikelola.
Di seluruh dunia, sekitar satu miliar perempuan bergantung pada hutan untuk mata pencaharian, membantu memberi makan keluarga dan berkontribusi pada pendapatan rumah tangga sekaligus membangun pengetahuan khusus tentang cara terbaik untuk mengelola dan menggunakan hutan secara berkelanjutan. Perempuan pada komunitas pedesaan di sekitar hutan adalah pengguna hutan yang aktif.
Aktifitas utama adalah mengumpulkan hasil hutan untuk bahan bakar, obat-obatan, pakan ternak, dan makanan liar untuk digunakan sendiri atau dijual. Diperkirakan secara global, 80 persen pengumpulan kayu bakar yang tidak dibayar dilakukan oleh perempuan untuk kebutuhan rumah tangga. Pada saat yang sama, perempuan yang bergantung pada hutan untuk mengurus keluarga mereka sering kali memiliki pengetahuan khusus tentang bagaimana cara mengelola sumberdaya hutan secara berkelanjutan.
Perempuan cenderung melihat hutan sebagai sumber daya alam yang berharga yang dapat menyediakan berbagai layanan jika dikelola secara berkelanjutan, daripada hanya sebagai aset ekonomi. Perempuan lebih menekankan fungsi hutan dari aspek ketersediaan pangan, kesehatan, rekreasi, dan lingkungan hutan. Pengetahuan dan pemahaman perempuan tentang hutan seharusnya dimanfaatkan saat kita memandang hutan sebagai bagian penting dari solusi krisis iklim saat ini.
Perempuan harus terlibat aktif dalam perencanaan dan penerapan pengelolaan hutan berkelanjutan, kegiatan restorasi, dan dalam inisiatif yang terkait dengan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Namun, potensi perempuan sering kali tidak terlihat dan tidak diakui. Terlalu sering mereka tidak memiliki suara dalam pengambilan keputusan yang menyangkut hutan dan kontribusi mereka tidak didokumentasikan dengan tepat.
Jadi, apa yang dapat kita lakukan untuk memberdayakan perempuan pada pengelolaan hutan berkelanjutan? Secara umum, perhatian lebih besar perlu diberikan untuk menerapkan undang-undang dan kebijakan yang responsif gender, meningkatkan keamanan hak penguasaan lahan perempuan, dan menetapkan target untuk keseimbangan gender dalam badan-badan pembuat keputusan.
Implementasi konsep umum pengarusutamaan pengeloaan hutan yang responsif gender menimbulkan pertanyaan besar “Apakah bisa mendorong terjadinya perubahan?”. Intinya, bagaimana menemukan cara untuk menilai dan menambah nilai pada beragam rangkaian upaya yang dilakukan oleh perempuan dalam sebuah konfigurasi pengelolaan sumber daya hutan berkelanjutan, mencakup serangkaian bisnis berbasis hutan yang lebih beragam termasuk pangan, energi terbarukan, ekowisata, wanatani, hasil hutan bukan kayu (HHBK), dan jasa lingkungan.
Tujuan dari pengarusutamaan adalah untuk menginternalisasi tujuan dari konservasi sumber daya alam dalam kebijakan, program, dan model pembangunan sektor ekonomi untuk kemaslahatan manusia. Pengarusutamaan bertujuan untuk memastikan bahwa konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan berdasarkan peran dan tanggung jawab seluruh pemangku kepentingan, mulai dari pembuat kebijakan sampai pelaku bisnis dan masyarakat lokal.
Konsep perubahan paling signifikan adalah reposisi masyarakat dalam pengelolaan hutan berkelanjutan. Sekarang, siapa saja memiliki akses dan kesempatan yang sama dalam melaksanakan usaha pemanfaatan sumberdaya hutan. Gender mempengaruhi peran individu dalam mengelola hutan, akses mengelola hutan, dan pemanfaatan sumberdaya hutan.
Partisipasi perempuan pada pengelolaan hutan berkelanjutan tecermin mulai dari pengelolaan secara subsisten hingga komersial. Sayangnya, data mengenai peran dan partisipasi perempuan dalam pengelolaan hutan masih minim sehingga potret peran besar perempuan dalam mengelola hutan secara spesifik belum tergambar dengan jelas.
Gambaran sehari-hari menyebutkan bahwa Aktivitas laki-laki dalam mengelola hutan menghasilkan pendapatan sementara perempuan lebih banyak terlibat dalam kegiatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok. Temuan-temuan ini menunjukkan bahwa sektor kehutanan cenderung melekat pada dunia laki-laki. Sedangkan perempuan kerap tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan mengelola hutan karena pembatasan sosial, pembatasan logistik, aturan-aturan dan bias laki-laki dalam tindakan dalam mendorong inisiatif mengelola hutan rakyat.
Berbagai penelitian menyarankan bahwa partisipasi kaum perempuan dimungkinkan bila terdapat lembaga yang tidak terlalu eksklusif, tingkat pendidikan keluarga yang lebih tinggi dan rendahnya ketidaksetaraan ekonomi antar gender. Dalam era keberlanjutan dan kesetaraan, upaya untuk mengukir keadilan di hutan semakin menjadi fokus utama bagi paradigma pembangunan hutan berkelanjutan.
Pengarusutamaan gender menjadi pilar penting untuk memastikan bahwa setiap individu, tanpa memandang jenis kelaminnya memiliki peran yang setara dan kesempatan yang sama dalam pengelolaan hutan berkelanjutan. Konsep tersebut tidak hanya sekadar retorika, tetapi juga menjadi bagian integral dari strategi dan implementasi kebijakan.
Salah satu contoh yang nyata adalah kebijakan Social Forestry, yang secara konsisten menunjukkan komitmennya terhadap kesetaraan gender dengan menetapkan target yang jelas, yaitu melibatkan minimal 30% wanita dari total 150.000 orang penerima manfaat. Langkah ini tidak hanya menggarisbawahi pentingnya partisipasi perempuan dalam pengelolaan hutan, tetapi juga berupaya untuk memberdayakan perempuan secara ekonomi dan non-ekonomi.
Kebijakan pengelolaan hutan berkelanjutan yang responsif gender harus memastikan bahwa setiap individu memiliki hak, kesempatan, dan manfaat yang sama tanpa memandang gender. Pendekatan untuk mengintegrasikan kesetaraan gender dalam sebuah kebijakan melibatkan pertanyaan dan langkah mendasar umum yang membantu menganalisis masalah ketidaksetaraan gender seputar pembagian kerja, akses dan kendali sumber daya, kekuasaan dan pengaruh dalam pengambilan keputusan, partisipasi, dan pembagian manfaat.
Langkah pertama dalam pengarusutamaan isu gender dalam proyek Social Forestry adalah melakukan analisis gender dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut kepada laki-laki dan perempuan di tingkat rumah tangga, lokal, nasional, regional, dan global sesuai ruang lingkup lokasi dalam analisis tersebut, terkait dengan:
- Tenaga Kerja: Siapa melakukan apa? Bagaimana? Di mana? Kapan? Mengapa?
- Akses: Siapa menggunakan apa? Bagaimana? Di mana? Kapan? Mengapa?
- Kekuasaan atas pengambilan keputusan dan kendali: Siapa yang mengendalikan apa? Bagaimana? Di mana? Kapan? Mengapa?
- Kekuasaan atas informasi: Siapa yang tahu apa? Bagaimana? Di mana? Kapan? Mengapa?
- Pembagian manfaat: Siapa yang diuntungkan dari apa? Bagaimana? Di mana? Kapan? Mengapa?
- Partisipasi: Siapa yang termasuk dalam apa? Bagaimana? Di mana? Kapan dan Mengapa?
Pelaksanaan proyek Social Forestry pada komunitas berbasis gender melibatkan berbagai kelompok sosial perempuan dan laki-laki yang harus berhak atas persetujuan awal tanpa paksaan dan berdasarkan informasi. Kompensasi yang diberikan dengan adil dan sah serta harus ditawarkan kepada semua pihak yang terdampak. Diperlukan sistem pengaduan yang memadai, mudah diakses, dan efektif dan yang terpenting baik perempuan maupun laki-laki harus memiliki hak bicara yang sama dalam semua keputusan.
Restorasi harus mencerminkan prioritas, kepentingan, dan pengetahuan perempuan maupun laki-laki serta upaya restorasi harus mengakui dan memberi kompensasi yang sama atas upaya perempuan maupun laki-laki dalam bentuk kontribusi tenaga kerja, keuangan, atau barang. Yang terpenting adalah manfaat restorasi harus didistribusikan secara adil.
Analisis gender membantu menutup kesenjangan gender di sektor kehutanan dengan mengidentifikasi beberapa indikator sebagai berikut:
- Partisipasi: salah satu cara untuk memberdayakan perempuan adalah dengan meningkatkan partisipasi perempuan dalam berbagai kegiatan, yang meliputi kelompok pengelolaan hutan masyarakat, UMKM, LSM dan pemerintahan desa, serta pemasaran produk hutan nonkayu. Mendorong partisipasi perempuan dalam posisi kepemimpinan dan pengambilan keputusan menunjukkan peningkatan partisipasi perempuan dalam komite pengambil keputusan telah memperlihatkan perbaikan tata kelola hutan dan kelestarian sumber daya.
- Pengembangan kapasitas: dapat meningkatkan kemampuan perempuan dan laki-laki untuk berkolaborasi secara setara dan efektif. Kegiatan pengembangan kapasitas harus disesuaikan dengan kebutuhan khusus perempuan.
- Pembangunan kelembagaan: tantangan kelembagaan meliputi bias gender yang mengakar kuat, kapasitas teknis yang buruk dalam masalah gender, dan alokasi anggaran yang terbatas untuk isu gender.
- Data yang dipilah berdasarkan gender: kurangnya data yang dipilah berdasarkan gender menimbulkan tantangan yang signifikan dalam perencanaan kebijakan kehutanan. Data yang dipilah akan diperlukan untuk mengembangkan kebijakan dan program yang responsif terhadap gender, dan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang peran perempuan.
Pengarusutamaan gender dan pemberdayaan perempuan sangat penting bagi pembangunan berkelanjutan. Pengetahuan dan keterampilan perempuan terkait dengan penggunaan dan pengelolaan sumber daya dapat memberikan kontribusi penting bagi pengelolaan hutan berkelanjutan.
Namun demikian, suara dan pendapat perempuan sering kali diabaikan dalam diskusi dan keputusan lokal. Praktik tradisional juga sering kali membatasi perempuan untuk memiliki tanah atau mengakses sumber daya, termasuk informasi. Beberapa keputusan penting tentang isu-isu yang mempengaruhi perempuan, adalah penggunaan dan pengendalian lahan, pendekatan dan prioritas restorasi, serta bagaimana biaya dan manfaat dibagi.
Partisipasi yang adil dalam pengambilan keputusan harus mengarah pada pembangunan sosial ekonomi dan hasil lingkungan yang lebih baik bagi setiap orang di lanskap hutan. Pengarusutamaan gender bukan sekadar angka statistik, melainkan upaya konkret untuk mengintegrasikan perspektif-perspektif yang beragam dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan hutan berkelanjutan.
Dengan melibatkan perempuan secara aktif, bukan hanya memastikan keberagaman dalam ruang pengambilan keputusan, tetapi juga mempromosikan keberlanjutan jangka panjang dan menciptakan lingkungan yang inklusif bagi semua pihak yang terlibat.**