Oleh:Kasman Jaya Saad / Penulis Dosen Unisa Palu
Hari Pendidikan Nasional, tanggal 2 Mei hari ini tentu tidak dimaksudkan sekedar untuk mengenang hari kelahiran Bapak Pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara pada 2 Mei 1889. Namun terpenting bahwa setiap hari pendidikan perlu dilakukan refleksi. Mengevaluasi, menata diri dan bahkan membuka diri, membuka lembaran-lembaran capaian pendidikan dan seperti apa produk pendidikan negeri ini selama ini.
Kita tentu tak pungkiri banyak capaian pendidikan telah dinikmati. Pendidikan telah menciptakan banyak generasi baik yang berintegritas, terampil dan memiliki kecerdasan sosial yang memahami lingkungan dan karakter masyarakatnya. Perilaku toleransi dan permaknaan akan keberagaman juga menjadi fondasi yang hadir karena pendidikan
Namun juga harus diakui, masih banyak bengkalai yang perlu dibenahi. Di dunia pendidikan masih jamak hadir perilaku kurang terdidik baik dilakukan oleh anak didik dan bahkan oleh para pendidiknya. Pelecehan seksual misalnya. Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) melaporkan ada 101 korban pelecehan seksual di satuan pendidikan tahun 2024. Jumlah tersebut dapat terus meningkat. Data ini belum merangkum perundungan (bullying) juga masih marak terjadi di lingkar pendidikan.
Pendidikan harus kembali menjadi taman-taman ilmu yang aman dan mendamaikan. Pendidikan adalah cara manusia sesungguhnya mempertahankan eksistensinya. Tempat dimana kebaikan itu diajarkan. Tempat dimana nurani itu lebih dikedepankan. Dengan demikian pendidikan dapat menjadi helper bagi sesama.
Pendidikan harus dimaknai tak sekedar pemenuhan dimensi kognitif anak didik, namun penting dibekali pendalaman afektif (penanaman nilai/moral) dan psikomotorik (keteladanan dalam berperilaku). Bukankah aspek kognitif mudah dituturkan-diajarkan, namun bagaimana dimensi perilaku pendidik diperlukan dalam melakoni tugasnya dengan memberi contoh yang baik atau menjadi role model bagi anak didiknya. Bila guru kencing berdiri, maka murid kencing berlari, begitu pepatah lama menggambarkan. Olehnya penting komitmen dan kepatuhan itu dalam diri seseorang pendidik.
Belajar bagaimana komitmen dan kepatuhan para leluhur, para orang tua duhulu mempraktekkan. Mereka memaknai pendidikan bukan hanya sekedar mentransfer pengetahuan-pengajaran tetapi juga transfer nilai-moral. Mereka menghidupkan nilai-nilai kebaikan yang diperolehnya dalam dunia pendidikan. Tak pernah berpikir jalan pintas (shortcut) untuk mencapai sesuatu, termasuk dalam memperoleh pendidikan. Mereka melakukan dengan berproses, penuh kepatuhan akan nilai-nilai yang hadir pada pendidikan itu.
Dan para leluhur itu tak “hebat” berdebat dan bersilat lidah, mereka patuh- istiqomah dalam kata dan perbuatannya. Hidupnya bersahaja. Tidak serakah. Menjaga hidupnya dengan keberkahan. Dan itu sebab mereka tidak akan mengambil sesuatu yang bukan haknya. Kesederhanaan dalam hidup dipertontonkan. Buah dari pendidikan yang diperolehnya. Komitmen dan kepatuhan itu begitu membumi dalam setiap gerak lakunya. Pendidikan mengajarakannya tentang kebaikan dan kesederhanaan. Mereka juga, menjadikan kejujuran dan ucapan yang benar sebagai pagar kehidupannya. Tak akan pernah berani melakukan kebohongan. Dan itu tertanam dalam benaknya. Mereka tak kompromi bila ada sesuatu tak sesuai aturan. Sikapnya tegas dalam kata, teguh dalam perbuatan dan janji-komitmen. Dan itu sebab, pada waktu itu, pendidikan memiliki daya magis yang luar biasa.
Olehnya di hari pendidikan ini, memang diperlukan refleksi tak sekedar upacara rutinitas. Masih banyak yang perlu ditingkatkan, utamanya soal komitmen dan kepatuhan para pendidik. Sebagai pendidik mari menikmati peran itu dengan baik, dengan sungguh-sungguh sebagai sarana penghambaan kepada-Nya. Semoga.