AKTIVI.ID- Pedagang di Pasar Inpres Palu mengeluhkan sepinya pengunjung jelang Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1446 H yang jatuh pada hari Senin, 31 Maret 2025.
Ini adalah lebaran terpuruk yang perna mereka lewati, hari-harinya hanya dilewati rasa ngantuk karena tidak ada pegunjung yang harus dilayani secara ekstra seperti bulan-bulan puasa sebelumnya, bahkan sejak awal bulan puasa hingga menjelang tiga hari lebaran rata-rata omset yang diterima dalam sehari hanya berkisar Rp100 ribu hingga Rp200 ribu.
Bahkan menurut Rahmat, salah seorang pedagang di Pasar Inpres Palu mengaku terkadang dalam satu hari tidak ada pembeli. “Tidak ada pengunjung yang masuk (di tempat jualan), kalau ada yang masuk dan tidak ada yang di bawah keluar mungkin saja karena kita terlalu banyak mau cari untung, sehingga pengunjung menganggap jualannya kita terlalu mahal, ini memang sama sekali pengunjungnya yang tidak ada,”jelas Rahmat, Kamis (27/3/2025).
Menurutnya, ini adalah bulan puasa yang paling sepi pengunjung selama berjualan di Pasar Inpres. Karena bulan puasa di tahun-tahun sebelumnya saat menjelang lebaran pengunjung masih ramai. Dan itulah momen para pedang di pasar itu bisa menghasilkan omset dan laba usaha yang lumayan besar.
Sebenarnya menurut Rahmat, kondisi sepi pengunjung di Pasar Inpres bukan hanya di Bulan Puasa ini, melainkan di bulan-bulan sebelumnya juga sudah mengalami hal yang sama, akibatnya tidak sedikit pedagang pakaian di pasar itu mencoba keberuntungan dengan berjualan di pasar-pasar di luar Pasar Inpres. Namun kondisinya tidak jauh beda dari kondisi yang ada di Pasar Inpres. “Ekstrimnya bahkan sudah ada yang tutup,”ujar Rahmat.
Rahmat mengkhawatirkan, jika kondisi ini terus menerus, maka besar kemungkinan banyak pedagang di pasar itu akan tutup usaha.
Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Sulawesi Tengah H. Moch. Amin Badawi saat ditemui mengaku jika kondisi ini tidak hanya pedagang pasar Inpres yang mengalami, namun seluruh pedagang pasar tradisional di Sulawesi Tengah.
Hal itu disebabkan karena terjadinya penurunan daya beli masyarakat, penghasilan masyarakat staknan dan cenderung menurun, terjadi di hampir semua profesi, baik itu petani, nelayan, buruh, hingga karyawan. “Artinya kondisi ekonomi masyarakat kita tidak baik-baik saja,”sebut Amin Badawi.
Kondisi seperti ini sebenarnya kata Amin Badawi telah berlangsung lama, namun diperparah lagi dengan kebijakan efisiensi pemerintah. Hotel-hotel sepi kegiatan, proyek–proyek pemerintah banyak dihentikan, pembelanjaan ATK di perkantoran superhemat dan ketat. Namun pemerintah tidak menyadari jika itu akan membawa dampak kurang baik dimana-mana.
“Di hotel itu banyak karyawannya, di proyek itu banyak yang terlibat terutama buruh bangunan, supir truk, buruh penambang pasir dan lain-lain, begitu juga di toko-toko penjual ATK punya karyawan. Jika hotel sepi, proyek tidak ada, penjualan di toko-toko ATK sepi, tentu juga akan berdampak pada penghasilan mereka, apa yang mereka mau pake belanja di pasar,”jelas Tokoh Penggerak UMKM Sulteng ini.
Kondisi yang tidak jauh berbeda dengan sektor pertanian, selisih hasil penjualan dengan biaya produksinya sangat sedikit, sehingga para petani jika ingin bertahan hidup harus bisa menghebat.
“Faktor-faktor seperti itulah yang menyebabkan daya beli masyarakat kita sangat menurun bahkan jatuh, olehnya pemerintah harus duduk bersama mencarikan solusinya, ini adalah tugas yang sangat mulia bagi pemerintah,”ujar Amin Badawi.*