Penulis: Sri Wahyuningsi, S.Mat / Pemerhati Lingkungan
Provinsi Sulawesi Tengah, yang dulu memikat dengan keindahan alamnya, kini menghadapi krisis ekologis serius dimana banjir menjadi bencana berulang sejak awal 2025. Seperti yang dilansir harian sulteng 2 april, dalam kurun waktu tiga bulan pertama tahun 2025, Provinsi Sulawesi Tengah mengalami lonjakan jumlah bencana yang cukup signifikan. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sulawesi Tengah mencatat sebanyak 88 kejadian bencana dari Januari hingga Maret. Dari jumlah tersebut, banjir menjadi bencana paling dominan dengan 58 kejadian, yang tersebar hampir di seluruh wilayah kabupaten dan kota di Sulteng, seperti Tolitoli, Donggala, Sigi, Poso, Buol, Banggai, Morowali, dan Morowali Utara. (hariansulteng.com, 4/25).
Beberapa wilayah bahkan mengalami bencana secara berulang dalam waktu yang singkat. Kabupaten Buol, misalnya, mencatat delapan kejadian banjir hanya dalam satu bulan, belum termasuk tanah longsor dan abrasi pantai yang juga terjadi di wilayah tersebut. Begitu pula dengan Tolitoli yang terus dilanda banjir hampir setiap bulan sejak awal tahun. Fenomena ini mencerminkan frekuensi dan sebaran bencana yang kian meluas di berbagai kecamatan, mulai dari dataran tinggi hingga wilayah pesisir. (hariansulteng.com, 4/25).
Tidak bisa dipungkiri penyebab di balik intensitas bencana yang semakin tinggi ini adalah aktivitas pertambangan yang masif, terutama di wilayah Morowali dan Morowali Utara. WALHI Sulawesi Tengah mencatat setidaknya 53 izin usaha pertambangan (IUP) nikel aktif yang beroperasi secara serempak di wilayah tersebut. Eksploitasi besar-besaran ini dinilai memperparah kerusakan lingkungan dan memperbesar risiko bencana, terutama banjir. (betahita.id, 1/25).
Buah dari Sistem Kapitalisme
Fenomena banjir yang terus berulang di Sulawesi Tengah tidak bisa hanya dilihat sebagai akibat dari faktor alam semata. Di balik derasnya air yang merendam pemukiman warga, terdapat jejak tangan manusia yang merusak ekosistem secara sistematis. Aktivitas penggundulan hutan, alih fungsi lahan, hingga eksploitasi sumber daya alam dalam skala besar menjadi pemicu utama krisis ekologis ini. Dalam konteks nasional, pola ini serupa dengan yang terjadi di banyak daerah: pembukaan hutan untuk perkebunan, pertambangan, dan pemukiman sering menjadi biang keladi bencana di daerah aliran sungai.
Penebangan hutan secara masif demi kepentingan komersial—baik itu untuk industri perkebunan, pertambangan, maupun properti—telah menghilangkan pelindung alami dari bahaya banjir dan tanah longsor. Praktik semacam ini hanya lahir dari paradigma ekonomi yang fokus utamanya mencari untung yakni sistem ekonomi kapitalisme. Yang hanya menempatkan alam sebagai komoditas yang bisa dieksploitasi untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya tanpa memikirkan akibat buruk jangka panjang bagi lingkungan dan manusia.
Alih-alih memperkuat kebijakan perlindungan lingkungan dan mitigasi bencana, pemerintah justru tampak memberikan izin untuk pembangunan dalam skala besar terhadap kepentingan industri. Izin eksploitasi terus mengalir, bahkan di wilayah-wilayah hulu yang secara ekologis sangat vital. Pendapatan daerah yang meningkat dari sektor ini seolah menjadi pembenar untuk membiarkan perusakan lingkungan terus berlangsung. Hal ini memperlihatkan karakter kebijakan pejabat yang kapitalistik lebih berpihak pada pelaku usaha ketimbang rakyat yang terdampak langsung dari bencana.
Pergeseran kewenangan yang diatur dalam Undang-Undang Minerba No. 3 Tahun 2020 semakin memperparah situasi. Pemerintah daerah tak lagi memiliki kuasa untuk mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP), karena semua diatur oleh pusat. Ketika tata kelola tambang dikendalikan secara terpusat namun tidak diimbangi dengan pengawasan yang kuat dan transparansi yang jelas, maka yang terjadi adalah tumbuh suburnya kerusakan dan lagi-lagi keuntungan hanya dinikmati oleh pihak asing.
Lebih buruk lagi, dalam kacamata korporasi yang bekerja di bawah logika kapitalisme, rakyat dan lingkungan hanya dipandang sebagai faktor produksi. Mereka dianggap sah-sah saja untuk dieksploitasi selama mampu menghasilkan keuntungan. Maka tidak mengherankan jika yang dominan bukan lagi kepedulian terhadap keberlangsungan hidup masyarakat atau kelestarian alam, melainkan kerakusan dan ketamakan.
Pada akhirnya, krisis ekologis yang menimpa Sulawesi Tengah bukan sekadar akibat regulasi yang lemah atau aparat yang lalai. Ini adalah konsekuensi dari diterapkannya sistem ekonomi yang keliru secara fundamental—yakni sistem kapitalisme. Selama mekanisme pasar bebas menjadi landasan utama dalam pengelolaan sumber daya alam, maka eksploitasi demi keuntungan tidak akan pernah berhenti, dan rakyat akan terus menjadi korban.
Islam Solusi Mengakhiri Bencana di Sulteng
Berbeda dengan paradigma sekularisme kapitalisme, Islam menetapkan bahwa fungsi kepemimpinan adalah mengurusi urusan umat (raa’in) dan menjaga mereka (junnah). Oleh karenanya, penguasa wajib mengerahkan segala daya untuk menyejahterakan umat dan menjauhkan mereka dari semua hal yang membinasakan. Bahkan bukan hanya untuk urusan di dunia, tetapi juga urusan akhirat rakyatnya.
Dalam konteks bencana, para pemimpin Islam dituntut untuk melakukan berbagai hal demi mencegah bencana, sekaligus menghindarkan masyarakat dari risiko bencana. Yang paling mendasar adalah dengan cara menerapkan aturan dan kebijakan yang tidak merusak lingkungan atau melakukan dan membiarkan hal-hal yang bisa mengundang azab Allah Taala.
Adapun basisnya adalah pelaksanaan perintah Allah yang tercantum dalam Al-Qur’anul Karim, “Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Janganlah berbuat kerusakan di bumi!’ Mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan.’” (QS Al-Baqarah: 11).
Juga firman-Nya, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS ar-Rum: 41).
Dari paradigma ruhiah inilah, semua kebijakan penguasa akan diturunkan. Tolok ukur satu-satunya hanyalah syariat Islam, bukan kepentingan pribadi, golongan, apalagi kepentingan para pemilik modal. Terlebih Islam mengatur seluruh aspek kehidupan, mulai sistem politik, ekonomi (termasuk keuangan), sistem sosial, sanksi, hankam, dan sebagainya.
Sistem ekonomi Islam menawarkan kerangka pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, dengan modal negara, masyarakat umum, dan individu berjalan seimbang. Dalam penerbitan izin usaha pertambangan misalnya, negara wajib mensyaratkan analisis dampak lingkungan hidup yang komprehensif, jaminan reklamasi lahan pasca-tambang, serta sistem drainase hulu–hilir yang memadai. Selain itu, pemerintah berbasis syariat harus mendanai riset teknologi tambang ramah lingkungan—seperti ventilator air dan pompa tenaga air yang dikembangkan para ilmuwan Muslim pada abad ke-4 Hijriah—untuk meminimalkan kerusakan ekologis. Pada masa Khilafah, teknologi semacam ini sudah digunakan untuk menjaga agar eksploitasi mineral tidak menimbulkan kerusakan permanen di darat maupun di sungai.
Pilar ketiga menyangkut pendidikan dan kesadaran lingkungan yang dilandasi nilai Islam. Materi tauhid lingkungan—menjaga bumi dari kerusakan (fasād)—harus diajarkan mulai di bangku sekolah dasar, sehingga generasi muda menginternalisasi bahwa merawat alam adalah bagian dari ibadah. Program dakwah lingkungan oleh da’i dan tokoh masyarakat perlu digalakkan, misalnya melalui gerakan penghijauan, pelestarian daerah aliran sungai, dan pengelolaan sampah terpadu. Dengan demikian, setiap individu memahami bahwa mencegah bencana tidak hanya tugas pemerintah, tetapi kewajiban bersama sesuai perintah Allah (QS ar‑Rūm: 41).
Ketika ketiga pilar ini—kepemimpinan Islami, sistem ekonomi syariah, dan pendidikan lingkungan berbasis nilai Islam—diimplementasikan secara konsisten, Sulawesi Tengah memiliki fondasi kuat untuk memutus siklus bencana berulang. Bukan sekadar menanggulangi pasca-bencana, tetapi mencegah kerusakan sejak hulu, sehingga keberlanjutan ekosistem dan kesejahteraan umat dapat terjamin dunia dan akhirat.
Wallahu’alam bish showab