-2.4 C
New York
Jumat, Desember 12, 2025

Buy now

spot_img

Mendidik Hasrat Kolektif Dalam Pengelolaan Sampah di Kota Palu

Oleh : Kasman Jaya Saad / Dosen Unisa Palu

 Kota Palu merupakan pusat pertumbuhan ekonomi, sosial, dan pendidikan di Sulawesi Tengah. Pertumbuhan ini menciptakan dinamika baru dalam kehidupan masyarakat, meningkatkan mobilitas penduduk, intensitas kegiatan ekonomi, serta pola konsumsi yang semakin kompleks. Dalam konteks perkembangan tersebut, salah satu tantangan utama yang muncul adalah meningkatnya timbulan sampah harian. Pada tahun 2024, data DLH Kota Palu menyebutkan bahwa timbulan sampah mencapai 526,97 meter kubik per hari.

Peningkatan ini berjalan seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan pola konsumsi warga kota yang semakin beragam. Angka ini mencerminkan tekanan signifikan terhadap sistem pengelolaan sampah dan kualitas lingkungan kota secara keseluruhan. Di balik angka tersebut juga tersimpan tantangan multidimensi, bukan hanya teknis-operasional, tetapi juga sosial-kultural.

Komposisi sampah Kota Palu memperlihatkan bahwa sebagian besar sampah bersifat organik, baik pada rumah tangga (70,96%) maupun pada sektor nonrumah tangga (43%). Komposisi ini menunjukkan bahwa kota Palu sesungguhnya memiliki peluang besar untuk mengurangi sampah sejak dari sumbernya melalui pembentukan TPS3R atau pengomposan dan pemanfaatan kembali bahan organik. Namun, peluang ini hanya dapat terwujud apabila terdapat kemauan warga untuk berubah dan berperilaku baik dalam pengelolaan sampah.

Dalam kajian perilaku (behavioral studies), perubahan tindakan tidak semata-mata dipengaruhi oleh pengetahuan atau informasi, tetapi oleh faktor internal berupa motif, preferensi, dan hasrat. Warga kota Palu secara umum memahami bahwa membuang sampah sembarangan adalah tindakan yang kurang benar. Namun, pemahaman tersebut tidak otomatis bertransformasi menjadi perilaku yang konsisten. Hal ini menunjukkan adanya jarak antara kesadaran dan hasrat untuk berperilaku bersih.

Pendekatan akademik mengenai perubahan perilaku menyatakan bahwa edukasi efektif tidak cukup berhenti pada penyampaian informasi. Perlu ada upaya sistematis untuk mendidik hasrat kolektif (collective desire) agar warga kota memiliki kecenderungan internal untuk menjaga ruang hidupnya. Hasrat ini terbentuk melalui proses keteladanan sosial, lingkungan fisik yang terjaga dan insentif moral yang mendorong perilaku positif.

Keteladanan sosial berperan penting dalam  mendorong lahirnya warga kota yang meniru tokoh yang mendapat legitimasi sosial, terutama dari tokoh masyarakat, pemimpin komunitas, guru, dan aparat pemerintah. Ketika tokoh-tokoh ini secara konsisten menampilkan perilaku pengelolaan sampah yang baik, muncul tekanan sosial positif yang mendorong imitasi dalam perilaku baik itu.

Dan apa yang disaksikan saat ini di Kota Palu, tumbuh baik banyak taman kota yang terjaga kebersihannya juga memberi pengaruh kuat terhadap pembentukan kebiasaan warga kota. Lingkungan fisik seperti ruang publik yang bersih, rapi, dan terstruktur memberikan pesan simbolik bahwa kebersihan adalah norma bersama. Dalam teori psikologi lingkungan, kondisi fisik yang terjaga dapat mengurangi kecenderungan perilaku antisosial, termasuk membuang sampah sembarangan. Dengan demikian, lingkungan fisik atau infrastruktur fisik bukan hanya alat, tetapi bagian dari strategi pembentukan kebiasaan. Lingkungan yang bersih melahirkan perilaku bersih.

Dan terpenting pula adalah internalisasi nilai budaya dan religius dalam warga kota. Nilai budaya dan religius dapat menguatkan internalisasi norma kebersihan. Di banyak masyarakat, termasuk warga kota Palu, kebersihan tidak hanya dipandang sebagai aspek kesehatan tetapi juga sebagai nilai moral. Integrasi pesan-pesan lingkungan dalam pendidikan formal, kajian keagamaan, dan kegiatan adat dapat memperkuat rasa tanggung jawab kolektif ini ditengah warga kota.

Dengan demikian, upaya membangun budaya pengelolaan sampah di Kota Palu tidak cukup berfokus pada peningkatan infrastruktur atau penegakan regulasi saja. Intervensi yang lebih mendalam perlu diarahkan pada pembentukan hasrat kolektif masyarakat untuk merawat kebersihan kotanya. Ketika hasrat itu tumbuh, ketika warga merasa memiliki kota ini, merasa bertanggung jawab atas kebersihannya, maka berbagai inovasi dan program pengelolaan sampah akan lebih mudah diimplementasikan dan akan berkelanjutan.

Akhirnya, masalah sampah bukan hanya persoalan teknis, tetapi persoalan pembentukan kualitas warga kota. Keberhasilan pengelolaan sampah di Kota Palu pada dasarnya bergantung pada seberapa jauh masyarakat menginternalisasi nilai kebersihan sebagai bagian dari identitas kolektifnya. Bila hasrat itu berhasil dididik dan ditumbuhkan, maka Palu tidak hanya menjadi kota yang bersih, tetapi juga kota yang beradab dan berkelanjutan. Semoga.*

 

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img

Latest Articles