16.8 C
New York
Minggu, Agustus 3, 2025

Buy now

spot_img

Krisis Identitas: Seorang Pembelajar

Oleh: Muammar S Adirai / Penulis Warga Palu, Pembelajar lagi Di Jogja

Diera teknologi digital saat ini, dunia pendidikan akan terus berubah seiring waktu,dan menuntut semua pihak, terlebih bagi pembelajar untuk beradaptasi dengan cepat. Inovasi teknologi seperti pembelajaran daring, kecerdasan buatan, dan platform digital telah menggeser cara kita mengakses, menyampaikan, dan mengelola ilmu pengetahuan.

Seorang pembalajar dituntut untuk memiliki lebih dari sekedar pengetahuan akademik. Seorang pembelajar ialah seseorang yang secara sadar dan aktif menjalani proses pencarian, penggalian, dan pengembangan ilmu pengetahuan, keterampilan, serta nilai-nilai yang berguna bagi kehidupan. Ia bukan sekadar penerima informasi, tetapi juga pengolah makna yang mampu merefleksikan pengalaman dan menumbuhkan pemahaman baru. Ia juga memerlukan prinsip hal dasar harus dipegang yakni religiusitas, intelektualitas, dan humanitas.

Ketiga prinsip tersebut, akan menjaga diri dari krisis identitas. Identitas sebagai pembelajar luntur saat kita lebih sibuk membandingkan diri dengan orang lain ketimbang mendengarkan suara hati sendiri. Kita merasa rendah bila belum mencapai seperti yang dicapai teman seangkatan.

Padahal, pembelajar sejati tak menjadikan orang lain sebagai ukuran ia tahu bahwa jalan belajar setiap orang unik dan layak dihargai. Ketika pembelajaran hanya dimaknai sebagai proses memperoleh nilai, mengumpulkan sertifikat, atau mengejar gelar, maka identitas sebagai pembelajar mulai goyah. Pembelajar sejati belajar karena haus akan pengetahuan, bukan demi ranking.

Religiusitas menjadi prinsip dasar pertama karena spiritual yang membentuk etika dan moralitas seorang pembelajar. Nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, dan keikhlasan tidak hanya membimbing perilaku dalam kehidupan pribadi, tetapi juga menjaga integritas akademik dan profesional. Religiusitas memberikan makna yang mendalam terhadap aktivitas belajar dan juga mengubah pencarian ilmu menjadi jalan menuju kebaikan dan kontribusi sosial.

Contoh sederhana yang dapat dilakukan oleh seorang pembalajar dalam religiusitas adalah melakukan beribadah dengan sungguh-sungguh (istiqomah) dan terimplementasi dalam perilaku, hal tersebut merupakan contoh hal sederhana yang dapat diaplikasikan dalam prinsip religiusitas.

Di sisi lain pembalajar harus memiliki daya intelektualitas yang mendorong pada proses berpikir kritis dan juga analitis. Seorang pembelajar dengan bekal intelektual mampu menyaring informasi secara objektif, menyusun argumen secara logis, dan mencari solusi atas berbagai permasalahan nyata yang dihadapi masyarakat.

Ia tidak hanya menjadi penerima pengetahuan, tetapi juga aktor yang aktif dalam mengahadapi permasalahan yang ada. Contoh halnya dalam era digital saat ini, dimana banyak berita atau informasi palsu (hoaks) dan mis-informasi, lalu ia melakukan untuk berpikir kritis dalam membedakan yang berita palsu dan juga benar merupakan bagian sederhana dalam berintelektual.

Terpenting juga bahwa seorang pembelajar juga berjiwa humanitas yang merupakan elemen yang menjembatani antara pengetahuan dan kepedulian sosial. Seorang pembelajar yang humanis tidak hanya fokus pada prestasi akademik, tetapi juga memperhatikan kondisi dan kebutuhan manusia di sekitarnya. Ia memiliki empati, menghargai perbedaan, dan bersedia berkontribusi untuk perubahan sosial yang positif.

Humanitas menumbuhkan rasa tanggung jawab kolektif dan menanamkan bahwa ilmu bukan sekadar alat meraih status, melainkan sarana untuk melayani dan memberdayakan masyarakat. Contoh hal sederhana yang dapat dilakukan sebagai pembalajar yakni melakukan kerja bakti bersama warga atau bersama komunitas, hal tersebut merupakan bagian juga dalam mengaplikasikan prinsip humanitas.

Maka dari itu menurut penulis ketiga prinsip tersebut sangat penting dimiliki seorang pembalajar karena prinsip tersebut saling melengkapi dan membentuk pribadi pembelajar yang utuh. Religiusitas memberikan arah, intelektualitas menjadi motor pemikiran, dan humanitas menjadi hati yang menuntun tindakan. Tanpa keseimbangan antara ketiganya, proses belajar bisa kehilangan makna dan arah.

Dengan bekal prinsip religiusitas, intelektualitas, dan humanitas bukanlah sekadar pelengkap, tetapi fondasi utama bagi pembelajar yang ingin tumbuh menjadi individu yang bermanfaat dan berdaya saing di tengah kompleksitas zaman. Dengan demikian, menjadi pembelajar adalah identitas aktif dan dinamis, bukan status sesaat, melainkan perjalanan seumur hidup yang terus bergerak menuju kedalaman makna dan kebermanfaatan.

Krisis identitas bukan akhir dari segalanya. Ia bisa menjadi pintu awal menuju pemahaman diri yang lebih utuh. Tentang prinsip religiusitas, intelektualitas, dan humanitas yang lebih aktif dan dinamis.**

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img

Latest Articles