Oleh : Mayra Salzabilla / Mahasiswi Sastra Minangkabau(Universitas Andalas)
Minangkabau di Sumatera Barat menonjol dengan sistem matrilineal yang unik, di mana garis keturunan dan hak waris diturunkan melalui ibu. Sistem ini memberi perempuan Minang kepemilikan harta pusaka (tanah dan Rumah Gadang) serta kemandirian ekonomi yang kuat. Perempuan juga memegang otoritas moral dan spiritual sebagai penjaga adat (Bundo Kanduang).
Laki-laki memiliki peran komplementer penting di ranah publik dan keagamaan sebagai penghulu adat, serta dikenal dengan tradisi merantau. Hubungan gender bersifat komplementer, menciptakan keseimbangan sosial. Meskipun menghadapi tantangan modernisasi, matrilineal Minangkabau tetap lestari, menawarkan studi kasus antropologis tentang adaptasi sosial, pembagian peran gender yang unik, dan ketahanan budaya yang membuktikan keberagaman interpretasi “kekuatan” di masyarakat.
Minangkabau merupakan sebuah suku bangsa yang mendiami sebagian besar wilayah Sumatera Barat, Indonesia. Di mana Minangkabau terkenal dengan adat istiadat dan kebudayaan yang masih kuat hingga saat ini. Salah satunya Minangkabau terkenal dengan garis keturunan yang dianut, yaitu Matrilineal. Kebudayaan matrilineal Minangkabau bukan sekadar mengamati warisan harta atau garis keturunan, melainkan sebuah penjelasanmendalam terhadap struktur sosial, peran gender, dan cara pandang masyarakatnya yang unik.Secara fundamental, matrilineal di Minangkabau berarti garis keturunan dan hak-hak waris diturunkan melalui pihak ibu. Ini berbeda jauh dengan sistem patrilineal yang umum, di mana keturunan dihitung dari pihak ayah.
Dalam konteks Minangkabau, seorang anak secara otomatis menjadi anggota suku (klan) ibunya, bukan ayahnya. Sistem ini memiliki implikasi besar terhadap identitas individu, hubungan kekerabatan, dan struktur kekuasaan.
Salah satu aspek paling menonjol dari matrilineal Minangkabau adalah kepemilikan harta pusaka. Harta ini, yang sebagian besar berupa tanah dan Rumah Gadang (rumah adat), adalah milik kaum perempuan dan diturunkan dari ibu kepada anak perempuannya. Ini memberikan perempuan Minang kemandirian ekonomi dan posisi tawar yang kuat dalam rumah tangga dan masyarakat.
Mereka adalah pengelola dan penjaga aset keluarga, memastikan keberlangsungan hidup generasi mendatang. Konsep “mamak” (paman dari pihak ibu) memang ada dan berperan sebagai pelindung serta penasihat kemenakan (anak saudara perempuan), namun keputusan final terkait harta pusaka seringkali berada di tangan perempuan pemilik.
Peran perempuan tidak hanya terbatas pada kepemilikan materi. Mereka juga memiliki otoritas moral dan spiritual yang tinggi. Konsep “Bundo Kanduang” adalah personifikasi dari otoritas ini. Bundo Kanduang bukan sekadar ibu kandung, melainkan simbol kebijaksanaan, keadilan, dan penjaga adat. Perempuan Minang adalah pewaris dan penutur utama adat istiadat, cerita rakyat, dan nilai-nilai budaya yang diwariskan secara lisan. Merekalah yang mendidik anak-anak tentang identitas Minang, tata krama, dan prinsip-prinsip hidup yang sesuai dengan adat dan agama.
Meskipun perempuan Minangkabau memegang peran penting dalam garis keturunan dan kepemilikan, tidak berarti Minangkabau adalah masyarakat matriarkal murni. Laki-laki memiliki peran yang tak kalah penting, terutama dalam ranah publik dan keagamaan. Para penghulu adat (datuk), pemimpin suku, adalah laki-laki. Merekalah yang bertanggung jawab atas penegakan hukum adat, menyelesaikan sengketa, dan mewakili klan dalam musyawarah
nagari. Selain itu, laki-laki Minang dikenal dengan tradisi merantau mereka. Merantau bukan hanya mencari nafkah, tetapi juga menimba ilmu, pengalaman, dan membentuk karakter mandiri. Setelah berhasil di rantau, mereka diharapkan kembali untuk membangun nagari dan keluarga.
Hubungan antara perempuan dan laki-laki dalam masyarakat matrilineal Minangkabau adalah komplementer, bukan kompetitif. Perempuan memegang otoritas di ranah domestik dan kepemilikan, sementara laki-laki berperan di ranah publik dan keagamaan. Kedua peran ini saling melengkapi untuk menjaga keseimbangan dan harmoni dalam masyarakat. Pernikahan dalam masyarakat Minangkabau melibatkan laki-laki yang “datang” ke suku perempuan, dan tinggal di rumah suku istrinya, setidaknya pada tahap awal pernikahan. Ini semakin memperkuat posisi perempuan sebagai pusat keluarga dan keturunan.
Namun, sistem matrilineal ini juga menghadapi tantangan di era modern. Globalisasi, urbanisasi, dan pengaruh budaya luar seringkali mengikis pemahaman dan praktik adat. Generasi muda mungkin kurang memahami makna mendalam dari sistem matrilineal, dan nilai-nilai individualisme kadang bersinggungan dengan semangat kebersamaan dan kekerabatan yang kuat. Meskipun demikian, matrilineal Minangkabau tetap menjadi ciri khas yang membedakan mereka dari kelompok etnis lain di Indonesia dan dunia, membuktikan bahwa ada cara lain dalam mengatur masyarakat selain yang didominasi oleh sistem patriarki.
Secara antropologis, kebudayaan matrilineal Minangkabau menawarkan studi kasus yang kaya tentang adaptasi sosial, pembagian peran gender yang unik, dan ketahanan budaya di tengah arus perubahan. Ini menunjukkan bahwa konsep “kekuatan” dan “otoritas” dapat diinterpretasikan dan didistribusikan secara berbeda dalam masyarakat, jauh dari asumsi universal tentang dominasi laki-laki. Keberlangsungan sistem ini hingga saat ini adalah bukti nyata dari kekuatan nilai-nilai luhur yang telah diwariskan dan dijaga oleh setiap generasi.*