Oleh. Prof. Dr. Ir. Naharuddin, S.Pd., M.Si / Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Tadulako dan Ketua Forum Koordinasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Sulawesi Tengah
Di antara rimbun daun dan desir angin pantai,
Alam berbisik lirih dalam bahasa yang purba:
“Jangan lukai aku dengan besi dan bara,
Sebab luka di tubuhku adalah duka manusia.”
Gunung bersaksi, sungai pun meratap,
Tanah yang subur tak lagi lelap.
Burung-burung pergi, ikan-ikan pun hilang,
Ketika serakah menari di atas jejak yang malang.
Tapi suara rakyat bukan gema yang sia-sia,
Ia tumbuh seperti akar yang menembus batu,
Ia bergetar, menembus palung kuasa,
Menjadi gelombang: pelindung ruang hidup yang satu.
Keputusan Gubernur Sulawesi Tengah, Dr. H. Anwar Hafid, M.Si., untuk menutup secara permanen dua tambang di Kelurahan Tipo, merupakan sebuah langkah monumental dalam sejarah perlindungan lingkungan hidup dan hak masyarakat di daerah ini. Di tengah semakin kompleksnya persoalan pertambangan di berbagai wilayah Indonesia yang seringkali membawa konflik sosial, kerusakan ekologis, dan marginalisasi komunitas lokal. Kebijakan tersebut mencerminkan keberanian politik dan keberpihakan nyata kepada rakyat.
Tidak berlebihan jika keputusan ini disambut haru oleh ribuan warga Tipo dan sekitarnya. Selama delapan bulan terakhir, mereka telah memperlihatkan daya juang luar biasa dalam mempertahankan ruang hidup dari ancaman eksploitasi tambang. Aksi damai, unjuk rasa, pengumpulan petisi, hingga dialog publik telah menjadi bagian dari upaya kolektif yang beradab, konstitusional, dan bermartabat. Kini, perjuangan itu berbuah manis berkat pemimpin daerah yang mendengar, memahami, dan bertindak.
Keberanian yang Langka di Tengah Arus Deras Investasi
Dalam konteks nasional, keputusan untuk menutup tambang seringkali berhadapan dengan tekanan besar dari para pemodal, birokrasi yang permisif, dan narasi pembangunan ekonomi yang kerap mengesampingkan aspek lingkungan. Tak sedikit kepala daerah yang memilih jalan kompromi atau bahkan mendukung ekspansi tambang demi alasan investasi dan pertumbuhan regional.
Namun, Dr. Anwar Hafid justru menunjukkan sikap sebaliknya. Ia berpihak kepada konstitusi, kepada keadilan ekologis, dan kepada suara rakyat yang selama ini jarang didengar dalam diskursus pembangunan. Ini bukan sekadar keputusan administratif, melainkan pilihan etis dan strategis yang meletakkan kepentingan jangka panjang di atas keuntungan sesaat. Menurut Ferdowsian, (2021) dalam artikelnya berjudul ecological justice and the right to health: an introduction, dalam jurnal health and human rights bahwa keadilan ekologis dimaknai sebagai konsep yang mengacu pada perlindungan hak-hak semua makhluk hidup, termasuk manusia, dalam lingkungan hidup yang sehat dan berkelanjutan.
Langkah ini menegaskan bahwa pembangunan tidak selalu identik dengan eksploitasi sumber daya. Pembangunan yang sejati adalah yang berkelanjutan, inklusif, dan memuliakan manusia serta alam.
Ruang Hidup sebagai Hak Asasi
Penolakan masyarakat terhadap tambang di Tipo tidak muncul tanpa alasan. Dalam berbagai laporan, aktivitas pertambangan di wilayah ini telah menimbulkan degradasi lingkungan yang signifikan mulai dari rusaknya ekosistem pesisir, pencemaran udara dan air, hingga potensi longsor akibat perubahan bentang alam yang menimbulkan surface runoff (limpasan permukaan) akibat land clearing. Selain itu, terdapat pula kekhawatiran atas meningkatnya konflik sosial, ketimpangan akses terhadap sumber daya, dan hilangnya kedaulatan masyarakat atas ruang hidup mereka.
Dalam hal ini, keputusan Gubernur menjadi bentuk pengakuan negara atas hak asasi manusia yang paling mendasar: hak atas lingkungan yang bersih dan sehat. Hak ini dijamin oleh UUD 1945 Pasal 28H ayat (1) dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Artinya, keberanian politik Gubernur sesungguhnya adalah pelaksanaan mandat konstitusi dan hukum nasional.
Lebih jauh, penutupan tambang di Tipo juga mencerminkan penghormatan terhadap nilai-nilai kearifan lokal, di mana masyarakat menjaga tanah dan laut bukan semata sebagai sumber penghidupan, tetapi sebagai warisan leluhur yang harus dilestarikan untuk generasi mendatang.
Pemimpin yang Hadir dan Mendengar
Satu hal yang sangat penting untuk diapresiasi adalah cara Gubernur menyampaikan keputusan ini: langsung di tengah-tengah aksi damai warga, di lapangan, tanpa perantara. Simbolisme ini sangat kuat. Pemimpin yang datang langsung ke hadapan rakyatnya, bukan hanya menunjukkan empati, tetapi juga keberanian moral untuk berdiri di sisi kebenaran, meskipun mungkin tidak populer di kalangan elit atau pemilik modal.
Model kepemimpinan seperti ini adalah cermin dari demokrasi yang sehat di mana proses politik tidak bersifat top down, tetapi mendengarkan suara dari bawah, dari mereka yang sehari-hari mengalami dampak kebijakan. Hal ini sejalan dengan semangat desentralisasi dan otonomi daerah, di mana kepala daerah menjadi representasi dan pelindung hak-hak masyarakat di wilayahnya.
Pelajaran bagi Daerah Lain
Keputusan Gubernur Anwar Hafid seyogianya menjadi rujukan moral dan kebijakan bagi kepala daerah lain di Indonesia. Dalam banyak kasus, kerusakan lingkungan akibat tambang telah menyebabkan bencana ekologis, seperti banjir bandang, hilangnya sumber air bersih, serta konflik agraria yang tak kunjung selesai. Ketika pemimpin berani mengambil langkah tegas melawan eksploitasi yang merugikan rakyat, maka sesungguhnya mereka sedang mengamankan masa depan daerahnya.
Tidak sedikit daerah yang sekarang menyesali kelonggaran izin tambang yang mereka berikan di masa lalu. Penyesalan itu datang setelah dampak kerusakan tidak bisa diperbaiki, setelah masyarakat kehilangan akses terhadap tanahnya, dan setelah krisis sosial-ekologis meledak. Dalam konteks ini, langkah Gubernur Sulawesi Tengah sangat patut dihormati karena dilakukan sebelum semua itu terjadi secara lebih luas.
Harapan dan Tantangan ke Depan
Namun, keputusan menutup tambang tidak boleh berhenti sebagai simbol keberanian semata. Ia harus ditindaklanjuti dengan kebijakan konkret untuk mengembangkan alternatif ekonomi berkelanjutan bagi masyarakat. Perlu ada dukungan terhadap sektor pertanian, perikanan, pariwisata berbasis alam, dan ekonomi kreatif lokal yang menghormati daya dukung lingkungan.
Pemerintah Provinsi juga perlu memastikan bahwa penutupan tambang tidak hanya sebatas pencabutan izin, tetapi juga restorasi kawasan bekas tambang, audit lingkungan, serta tanggung jawab hukum bagi perusahaan yang terbukti melakukan pelanggaran. Selain itu, penguatan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam secara partisipatif dan lestari menjadi bagian tak terpisahkan dari transformasi pascatambang.
Dengan demikian, keberanian ini akan menjadi pondasi perubahan struktural yang menyeluruh, bukan hanya pencitraan sesaat.
Penutup: Momentum Kebangkitan Ekologis
Keputusan Gubernur Sulawesi Tengah untuk menutup dua tambang di Tipo secara permanen adalah tonggak penting dalam perjuangan keadilan ekologis di Indonesia. Ini adalah peristiwa langka yang patut dicatat dan dicontoh. Di tengah krisis iklim global, kerusakan lingkungan, dan maraknya komersialisasi ruang hidup, sikap pemimpin seperti ini menjadi harapan baru.
Tentu saja, tidak semua akan setuju. Pasti ada tekanan dan resistensi dari pihak yang merasa dirugikan secara ekonomi. Namun, sejarah akan mencatat keberpihakan kepada rakyat dan lingkungan sebagai keputusan yang benar dan visioner.
Gubernur Dr. Anwar Hafid telah menempatkan dirinya dalam barisan pemimpin progresif yang berani melindungi masa depan, bukan sekadar merawat kepentingan hari ini. Kini, tugas semua elemen masyarakat akademisi, aktivis, jurnalis, dan warga adalah memastikan bahwa semangat ini terus hidup, dijaga, dan diperluas ke wilayah lain.
Kita tidak sedang menolak pembangunan. Kita sedang memperjuangkan pembangunan yang adil, lestari, dan manusiawi. **