-2.4 C
New York
Jumat, Desember 12, 2025

Buy now

spot_img

Isu Pembubaran Kepolisian dan Taruhan Konstitusi

Oleh: Sigit Wibowo /Kolumnis, Fokus pada isu-isu hukum tata negara dan kebijakan publik.

Isu pembubaran Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) kembali mengemuka. Narasi ini berkembang bersamaan dengan wacana pembentukan Kementerian Keamanan RI yang disebut-sebut akan mengambil alih fungsi kepolisian. Dalam situasi ketika kinerja penegakan hukum tengah menjadi sorotan, ide ini terdengar radikal dan memancing perdebatan publik. Namun, bila ditinjau dari kacamata hukum tata negara, gagasan tersebut bukan hanya problematis, tetapi juga mengandung konsekuensi konstitusional dan kelembagaan yang sangat serius.

Polri bukan sekadar institusi administratif. Ia adalah organ negara yang secara eksplisit tercantum dalam Pasal 30 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945. Ketentuan ini menegaskan peran Polri sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. Posisi ini menjadikan Polri sebagai salah satu pilar konstitusional sistem keamanan nasional Indonesia. Dengan demikian, upaya membubarkan atau mengubah bentuk lembaga ini tidak dapat dilakukan melalui kebijakan teknis atau keputusan politik jangka pendek. Setiap perubahan terhadap kedudukan Polri hanya mungkin ditempuh melalui mekanisme amandemen konstitusi.

Amandemen UUD 1945 bukan perkara sederhana. Secara prosedural, perubahan harus diusulkan oleh sedikitnya sepertiga anggota MPR dan disetujui oleh lebih dari separuh anggota MPR dalam sidang paripurna. Selain menyangkut legitimasi politik, langkah ini juga akan menyeret negara ke dalam proses rekonstruksi besar terhadap desain kelembagaan keamanan nasional. Fungsi-fungsi kepolisian yang saat ini terintegrasi akan terpecah ke berbagai lembaga. Dalam kondisi demikian, potensi tumpang tindih kewenangan, lemahnya koordinasi, dan kekosongan hukum (legal vacuum) hampir tak terelakkan.

Konsekuensi lainnya juga tidak kecil. Ratusan regulasi harus direvisi, mulai dari Undang-Undang Kepolisian, KUHP, KUHAP, hingga peraturan teknis di berbagai sektor seperti lalu lintas, narkotika, dan keamanan dalam negeri. Di lapangan, status ratusan ribu personel serta infrastruktur kelembagaan kepolisian harus ditata ulang. Proses ini akan menuntut waktu panjang, biaya besar, serta masa transisi yang rawan terhadap instabilitas keamanan. Dalam perspektif tata negara, perubahan kelembagaan sebesar ini dapat memicu ketidakpastian hukum yang melemahkan kepercayaan publik terhadap negara.

Kritik terhadap Polri bukan hal baru dan merupakan bagian wajar dari dinamika demokrasi. Namun, kelemahan institusional sebaiknya dijawab dengan langkah perbaikan, bukan pembubaran. Reformasi kelembagaan yang rasional diarahkan pada penguatan tata kelola, transparansi, dan pengawasan baik internal maupun eksternal untuk meningkatkan profesionalisme dan akuntabilitas. Menghapus institusi konstitusional justru berisiko lebih besar daripada manfaat yang dijanjikan.

Konstitusi bukan ruang eksperimen politik. Menghapus Polri berarti merombak fondasi negara yang telah menopang stabilitas nasional selama puluhan tahun. Jalan yang lebih bertanggung jawab adalah memperkuat dan memperbaiki kelembagaan, bukan menghapusnya. Dalam negara hukum, memperkuat pilar konstitusi adalah bentuk keberanian, sedangkan meruntuhkannya atas dasar ketidakpuasan sesaat justru merupakan langkah mundur.*

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img

Latest Articles