Oleh : Mayra Salza billa /Mahasiswi Sastra Minangkabau (Universitas Andalas)
Masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat memiliki sistem hukum yang kompleks, dicirikan oleh interaksi dinamis antara hukum adat dan hukum negara. Artikel ini membahas bagaimana kedua sistem ini beroperasi, saling memengaruhi, dan berpotensi berkonflik dalam tatanan sosial Minangkabau.
Hukum adat, yang berakar pada filosofi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (Adat berdasarkan Syariat, Syariat berdasarkan Kitabullah), mengatur sebagian besar aspek kehidupan komunal, termasuk kekerabatan matrilineal, kepemilikan harta pusaka, dan penyelesaian sengketa lokal melalui mekanisme musyawarah mufakat.
Di sisi lain, hukum negara, yang bersumber dari konstitusi dan undang-undang nasional Indonesia, memiliki yurisdiksi atas perkara pidana, perdata, dan administrasi. Meskipun terdapat wilayah tumpang tindih, seperti dalam urusan pertanahan, masyarakat Minangkabau umumnya mencari penyelesaian masalah melalui saluran adat terlebih dahulu sebelum beralih ke ranah hukum negara. Keseimbangan ini mencerminkan upaya masyarakat Minang untuk melestarikan identitas budaya mereka sambil beradaptasi dengan kerangka hukum modern.
Minangkabau adalah salah satu dari sedikit wilayah di Indonesia yang memiliki sistem hukum adat yang sangat kuat dan terstruktur, hidup berdampingan, dan seringkali berinteraksi kompleks dengan hukum negara. Hubungan antara hukum adat dan hukum negara di Minangkabau adalah cerminan dari dinamika yang lebih besar antara tradisi lokal yang mengakar dalam masyarakat dan kerangka hukum formal yang ditegakkan oleh negara.
Hukum adat Minangkabau, yang dikenal dengan filosofi “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” (Adat bersendikan syariat, syariat bersendikan Kitabullah), adalah seperangkat norma, nilai, dan aturan perilaku yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Hukum adat ini tidak tertulis dalam satu kitab undang-undang, melainkan hidup dalam ingatan kolektif, pepatah-petitih (peribahasa), kearifan lokal, dan praktik sehari-hari masyarakat. Sumber hukum adat berasal dari kebiasaan, keputusan para penghulu (pemimpin adat), serta nilai-nilai Islam yang telah menyatu dengan adat.
Ruang lingkup hukum adat Minangkabau sangat luas, mencakup:
- Hukum kekerabatan: Mengatur tentang garis keturunan matrilineal, hak dan kewajiban anggota suku, serta peran mamak dan kemenakan.
- Hukum pertanahan: Mengatur tentang kepemilikan dan pengelolaan tanah pusaka, yang mayoritas dipegang oleh kaum perempuan.
- Hukum perkawinan: Mengatur tata cara perkawinan, mahar, dan status keluarga.
- Hukum pidana adat: Mengatur sanksi dan penyelesaian atas pelanggaran seperti pencurian, perkelahian, atau perselingkuhan, yang seringkali diselesaikan melalui musyawarah dan ganti rugi.
- Hukum tata pemerintahan adat: Mengatur struktur nagari, peran penghulu, dan mekanisme musyawarah mufakat.
Penyelesaian sengketa berdasarkan hukum adat biasanya dilakukan melalui musyawarah dan mufakat di bawah bimbingan para penghulu dan alim ulama.
Tujuannya bukan untuk menghukum secara keras, melainkan untuk mengembalikan keseimbangan sosial, memulihkan hubungan yang rusak, dan menjaga harmoni dalam masyarakat.
Di sisi lain, hukum negara di Indonesia adalah sistem hukum positif yang tertulis, diundangkan oleh pemerintah pusat, dan diterapkan secara nasional. Sumbernya adalah UUD 1945, undang-undang, peraturan pemerintah, dan keputusan pengadilan. Hukum negara memiliki aparat penegak hukum yang jelas, seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, yang memiliki yurisdiksi atas seluruh warga negara.
Hubungan antara hukum adat dan hukum negara di Minangkabau dapat digambarkan sebagai sebuah koeksistensi yang dinamis, kadang harmonis, kadang pula menimbulkan friksi.
Secara konstitusional, UUD 1945 mengakui keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip NKRI. Ini membuka ruang bagi hukum adat untuk diakui dan diterapkan.
Beberapa titik temu penting antara kedua sistem hukum ini meliputi:
- Pengakuan Hak Atas Tanah Adat: Meskipun ada peraturan agraria nasional, hak-hak komunal atas tanah adat (ulayat) di Minangkabau seringkali diakui dan dihormati oleh negara, meskipun prosesnya seringkali kompleks.
- Penyelesaian Sengketa Informal: Untuk kasus-kasus ringan, terutama yang berkaitan dengan perselisihan keluarga atau konflik antar individu dalam nagari, masyarakat Minang seringkali memilih jalur penyelesaian adat (melalui musyawarah) terlebih dahulu daripada langsung melaporkan ke polisi. Pihak kepolisian pun kadang-kadang mendorong penyelesaian melalui jalur adat untuk kasus-kasus tertentu, demi menjaga harmoni sosial.
- Peran Ninik Mamak: Meskipun tidak memiliki kewenangan yudikatif formal dalam sistem peradilan negara, para ninik mamak (penghulu adat) memiliki pengaruh besar dalam memberikan nasihat hukum, mediasi, dan memastikan bahwa keputusan-keputusan yang diambil oleh masyarakat sesuai dengan nilai-nilai adat.*