Oleh Syam Zaini / Ketua PGRI Prov Sulawesi Tengah /Pemateri Motutura yang dilaksankaan oleh Badan Musyawarah Adat Sulawesi Tengah (BMA), Kamis (15/5/2025).
Pertama tama saya ingin menggarisbawahi bahwa tema Motutura atau dialog dan diskursus yang digagas oleh BMA: “Gerak Sekata dalam Pemajuan Keragaman Budaya untuk Sulteng Nambaso,” bukan saja relevan untuk konteks kekinian, tetapi juga urgen untuk membangun kebudayaan dan peradaban masa depan, terutama dalam kerangka Sulteng Nambaso. Relevan karena secara faktual budaya dengan segala ekspresinya adalah refleksi pluralitas, sementara itu dinilai sangat penting karena semua kehidupan manusia dan masyarakat terikat dan mengikat pada budaya. Oleh karena itu, tidak ada satupun masyarakat dan betapa pun sederhana atau kompleksnya suatu masyarakat pasti memiliki budaya. Terlebih lagi dalam kerangka Sulteng Nambaso, sangat relevan karena visi misi luhur ini buka saja diharapkan mengukir sejarah yang membawa pada kemajuan, melainkan sesungguhnya gagasan Sulteng Nambaso adalah refleksi berbudaya an sich.
Meminjam antropolog kenamaan Indonesia, Koentjaraningrat bahwa kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar. Karena itu, sebelum menyampaikan pokok pokok pikiran dalam diskursus ini, harus diakui bahwa gelaran MOTUTURA ini adalah juga refleksi budaya yang kreatif dan konstruktif untuk membangun kultur diskursus yang produktif di masa depan.
Selanjutnya, izinkan saya untuk mengelaborasi dan menegaskan beberapa aspek berkaitan dengan keragaman budaya ini dari perspektif pendidik. Sebagai anasir masyarakat sekaligus sebagai ketua PGRI Sulteng yang mereprsentasikan lebih kurang
46.000 guru, saya ingin menyampaikan beberapa pokok pikiran yang barangkali dapat dijadikan sebagai salah bahan diskusi, setidaknya memberikan perspektif berbeda dari anggel-sudut pandang pendidikan.
Pertama, Kami di PGRI memberikan apresiasi kepada Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah yang telah memisahkan ruang lingkup kerja antara pendidikan dan kebudayaan. Sejatinya memang budaya dan pendidikan tidak terpisahkan. Pendidikan secara filosofis adalah wujud budaya, tetapi budaya juga merupakan hasil kerja
pendidikan. Dua cabang dalam induk yang sama. Karena itu, dalam praktiknya sudah ideal untuk dipisahkan. Cukup lama kebudayaan berada dalam bayang bayang pendidikan. Ibaratnya pendidikan adalah ibu sedangkan kebudayaan adalah anak. Padahal semua kerja pendidikan adalah wujud budaya. Kalau pun pemahaman ini diterima, maka seperti yang pernah terjadi dalam pohon keilmuan, filsafat sebagai ibu melahirkan anak dengan berbagai cabang, tetapi setelah anak ke luar mandiri dari pohon filsafat, tidak menghancurkan filsafat sekaligus membesarkan kemandirian anak. Artinya, kemandirian kebudayaan seyogianya menjadi aset melahirkan berbagai praktik budaya yang produktif untuk membangun pendidikan.
Kedua, Satu keyakinan yang sulit diabaikan bahwa kemajemukan atau keragaman budaya adalah keniscayaan atau dalam bahasa yang lebih spritual kita sebut sebagai SUNNATULLAH, karena budaya dengan segala konteks dan kontennya adalah produk masyarakat yang notabene bersisi manusia plural. Tidak mungkin pluralitas atau keragaman menuntut produk homogen. Itu sebabnya, kita boleh berbangga dan bersyukur sebagai komunitas masyarakat Sulawesi Tengah karena sangat diuntungkan dengan posisi geografis strategis berada di tengah sehingga memungkinkan terjadinya persilangan budaya.
Setiap titik tengah dalam konteks kebudayaan selalu menjadi episentrum interaksi budaya. Tetapi, itu tidak cukup jika tidak didukung dengan pola pikir, gagasan, ide, dan sikap perilaku masyarakat lokal yang tidak memiliki keterbukaan. Dan sekali lagi kita bersyukur bahwa saudara saudara kita seperti yang ditunjukkan oleh etnis Kaili dan etnis lain di Sulawesi Tengah memiliki sikap take and give dalam konteks kebudayaan. Oleh karena itu, saya yakin pola melting spot yang pernah dilaksanakan oleh Amerika tidak memiliki tempat untuk tumbuh di Bumi Sulawesi Tengah. Palu adalah miniatur paling komplit untuk melihat bagaimana keragaman dikelola dan dikembangkan dengan baik.
Dalam konteks pendidikan, hendaknya setiap kelas di sekolah adalah praktik terbaik dari kemajemukan itu, karena hakikatnya KELAS ADALAH MINIATUR MASYARAKAT. Saya menawarkan agar point ini menjadi semacam komitmen kita bersama dalam memaknai keragaman budaya. Menjadikan kelas kelas sebagai taman subur untuk membangun budaya keragaman yang sehat, dan tentu saja ini bukan hanya menjadi tanggung jawab mereka yang berada di lingkaran persekolahan melainkan untuk semua stakeholder pendidikan.
Ketiga, akhirnya saya ingin menjelaskan dimensi yang lebih pragmatis berkaitan dengan sumbang pemikiran “Gerak Sekata dalam Pemajuan Keragaman Budaya untuk Sulteng Nambaso.” Secara harfiah Sulteng Nambaso (anak miskin bisa sekolah) adalah wujud budaya (gagasan dan karya) yang harus dikawal bersama-sama karena salah satu budaya yang paling luhur adalah menuntut ilmu. Menunut ilmu memang tidak harus institusional (bersekolah) tetapi dalam beradaban modern bersekolah adalah tuntutan. Secara maknawi Sulteng Nambaso adalah gerak langkah menjadikan Sulteng besar, bermartabat dan sejahtera dengan dicirikan antara lain kehidupan dan interaksi budaya. Oleh karena itu, PGRI menilai harus dimulai dari sekolah, dengan landasan:
1. Sudah saatnya sekolah dikelola dengan segala dimensinya termasuk pembelajarannya dengan pendekatan budaya. Pendekatan ini akan mengeliminir defiasi interaksi, seperti; bullying dan tindak kekerasa
2. Sudah saatnya sekolah dijadikan sebagai wadah tumbuhkembang keragaman budaya tanpa resistensi dari semua unsur yang potensial menghambat dinamika ana
3. Sekolah harus dibangun di atas dua pilar utama yaitu; nilai nilai keagamaan dan local wisdo Tataran nilai keagamaan lebih universal sehingga dengan mudah identifikasi untuk disemaikan di sekolah, seperti; ibadah. Tetapi nilai nilai budaya perlu dikaji dan diidentifikasi untuk kemudian dijadikan komitmen bersama disemaikan di lingkungan sekolah sesuai konteksnya. Tataran ini perlu para budayawan mengambil peran untuk melakukan kajian, sehingga tidak hanya sebatas, misalnya budaya tabe, cium tangan, dan lainnya. Barangkali masih ada contoh praktik budaya yang perlu dijadikan sebagai acuan nilai dalam membangun budaya sekolah yang mengakar pada kehidupan masyarakat lokal. Pada tataran inilah, para budayawan mengambil peran memberikan masukan pada sekolah
4. Jika Ki Hajar Dewantara membimbing kita menjadikan kelas atau sekolah sebagai taman, maka PGRI menilai saat ini perlu dikuatkan lagi dengan menjadikan sekolah dan kelas sebagai TAMAN BUDAYA LUHUR berbasis nilai religius dan local wisdom=kearifan loca
Karena itu PGRI menawarkan gagasan membangun SEKOLAH BERKALAM yaitu Sekolah yang BERKarakter Akhlak Mulia dengan landasan SULTENG NAMBASO (harfiah) dan bermuara pada SULTENG NAMBASO (maknawi). Untuk langkah awal adalah menerima, memperkuat, dan menginternalisasi pemajuan.**