Oleh: Mr. Annas Nitimung / Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Andalas
Dalam kerangka pembangunan nasional, komunikasi seharusnya berperan sebagai jembatan antara kebijakan pemerintah dan kebutuhan masyarakat. Namun, realitas menunjukkan bahwa komunikasi pembangunan sering kali gagal menjalankan fungsinya. Kegagalan ini tidak hanya menyebabkan resistensi masyarakat terhadap program pembangunan, tetapi juga menciptakan kesenjangan sosial dan ketidakpercayaan terhadap institusi publik.
- Kegagalan Komunikasi Partisipatif
Salah satu kegagalan paling mencolok dalam komunikasi pembangunan adalah minimnya pendekatan partisipatif. Pemerintah seringkali menggunakan pendekatan top-down, dengan asumsi bahwa masyarakat adalah penerima pasif informasi. Padahal, pembangunan yang berkelanjutan menuntut partisipasi aktif masyarakat sejak tahap perencanaan.
Studi oleh Servaes (2008) menekankan pentingnya pendekatan “Another Development” yang menempatkan masyarakat sebagai subjek, bukan objek pembangunan. Tanpa pelibatan aktif, komunikasi pembangunan cenderung menjadi alat propaganda, bukan dialog transformatif.
- Bahasa yang Tidak Akrab dengan Konteks Sosial Budaya
Komunikasi pembangunan juga sering gagal karena tidak peka terhadap konteks lokal. Pesan-pesan pembangunan dikemas dengan jargon teknokratis dan bahasa formal yang tidak dipahami oleh masyarakat akar rumput. Contoh nyata terlihat dalam program food estate dan alih fungsi lahan, di mana masyarakat lokal tidak diajak berdiskusi dan hanya menerima sosialisasi sepihak.
Dalam konteks ini, Paulo Freire (1970) dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed menegaskan bahwa komunikasi harus membebaskan, bukan menindas. Artinya, komunikasi pembangunan perlu menggunakan bahasa rakyat, memahami kearifan lokal, dan mengakui eksistensi budaya komunitas.
- Dominasi Media Formal dan Lemahnya Media Komunitas
Komunikasi pembangunan juga gagal karena lebih mengandalkan media massa arus utama daripada media komunitas yang berakar pada kehidupan masyarakat. Pesan pembangunan yang disampaikan melalui TV atau media sosial tidak menjamin keterhubungan emosional dan kultural dengan publik sasaran.
Menurut UNESCO (2014), media komunitas memiliki peran penting dalam memperkuat demokratisasi komunikasi pembangunan karena mampu menjangkau kelompok marjinal. Sayangnya, di Indonesia, dukungan terhadap media komunitas masih sangat minim dari sisi kebijakan maupun infrastruktur.
- Kurangnya Evaluasi dan Umpan Balik
Pembangunan sering dikebut tanpa mekanisme evaluasi komunikasi yang berkelanjutan, sehingga ketika program tidak berjalan efektif, akar masalahnya tidak diketahui. Ini menunjukkan lemahnya sistem umpan balik (feedback) dalam komunikasi pembangunan. Dalam komunikasi yang sehat, respons dari masyarakat seharusnya menjadi indikator keberhasilan pesan yang disampaikan.
Rekomendasi Strategis
- Mengintegrasikan pendekatan komunikasi partisipatif dalam setiap tahapan pembangunan.
- Memperkuat media lokal dan pelatihan komunikasi berbasis kearifan lokal.
- Mengembangkan komunikasi pembangunan dua arah dengan sistem umpan balik yang aktif.
- Melibatkan praktisi komunikasi dalam perencanaan kebijakan pembangunan agar tidak terjadi miskomunikasi antara pemerintah dan masyarakat.
Penutup
Komunikasi pembangunan bukan sekadar soal menyampaikan informasi, tapi membangun kesalingpahaman dan kepercayaan antara pemerintah dan rakyat. Kegagalan komunikasi pembangunan adalah kegagalan mendengar suara rakyat. Oleh karena itu, mereformasi komunikasi pembangunan adalah keniscayaan untuk menciptakan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.
Referensi:
Servaes, Jan. (2008). Communication for Development and Social Change. SAGE.
Freire, Paulo. (1970). Pedagogy of the Oppressed. Continuum.
UNESCO. (2014). Community Media: A Good Practice Handbook.
Kriyantono, Rachmat. (2020). Teknik Praktis Riset Komunikasi. Prenada Media.