AKTIVI.ID– Pada Maret 2025, serangkaian Focus Group Discussion (FGD) digelar di empat desa suku Bobongko yakni Tumbulawa, Kecamatan Batudaka, serta Lembanato, Matobiai, dan Titiri Popolion, Kecamatan Tongean, Kabupaten Touna sebagai upaya pendokumentasian pengetahuan tradisional dan ritus pengobatan mombolian. Diinisiasi Kementerian Kebudayaan melalui Dana Indonesiana 2024/2025, kegiatan ini bukan sekadar inventarisasi data, melainkan upaya menghidupkan kembali kebudayaan yang terancam punah di tengah arus modernisasi.
Masyarakat Bobongko, berpopulasi sekitar 1.057 jiwa, telah menghuni kawasan Taman Nasional Kepulauan Togean selama ribuan tahun. Mereka mewarisi sistem pengetahuan ekologis kuno, seperti pengelolaan hutan sagu bersama (gonggan pogaluman) dan larangan sakral Bayang penanda waktu tebang pohon sagu. Talenga, pemangku adat pengatur tata kelola hutan, dahulu menjadi tulang punggung sistem ini. Namun, peran itu memudar seiring waktu. “Pengetahuan ini ibarat mutiara tertimbun lumpur. Jika tak diselamatkan, hilang ditelan zaman,” ujar Abdurrasyid Languha, penerima manfaat Dana Indonesiana, dengan nada prihatin.
FGD dirancang partisipatif, melibatkan pemilik budaya sebagai narasumber kunci. Diskusi mengalir layaknya cerita turun-temurun: dari teknik konservasi mangrove yang melarang merokok dan berisik agar tidak mengusik hewan, hingga transformasi hubungan dengan Dongitan (babirusa). Dahulu, babirusa menjadi sumber pangan sebelum Islam masuk; kini, mereka hanya diusir jika mengganggu kebun—cerminan harmoni baru yang tetap menghargai alam.
Komitmen pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan dan Program Semarak Budaya 2025 menjadi pondasi legal upaya ini. “Kebudayaan bukan monumen mati, melainkan denyut hidup yang harus terus dipompa,” tegas Abdurrasyid, menekankan partisipasi masyarakat sebagai jantung revitalisasi.
Bahasa Bobongko, yang masih digunakan sehari-hari, bertahan meski terpapar bahasa Melayu Sulawesi Tengah. Tantangan lain datang dari pergeseran generasi: sagu sebagai pangan utama kian ditinggalkan, tergantikan beras yang dianggap lebih praktis. Namun, semangat mogalom (kebersamaan) dalam gonggan pogaluman masih menjadi nilai inti. Kolaborasi dengan suku Bajo, misalnya, memperkuat upaya mengatasi penangkapan ikan merusak—bukti bahwa sinergi antarbudaya bisa menjadi solusi.
FGD berhasil mengumpulkan fragmen pengetahuan yang tercerai-berai. Dari ritual mombolian yang menyimpan kearifan pengobatan tradisional, hingga filosofi nama desa Lembanato—malombanakon atau “menggusur tanah”—yang merefleksikan sejarah migrasi suku Bobongko dari Balanggala ribuan tahun silam. Setiap cerita yang terungkap bukan sekadar data, melainkan puzzle identitas peradaban kecil di tengah samudera.
Upaya pelestarian ini adalah investasi masa depan. Kearifan Bobongko dalam menjaga keseimbangan alam selaras dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Layaknya mangrove yang akarnya saling menguatkan, pengetahuan tradisional mereka dapat menjadi tameng menghadapi krisis iklim dan disrupsi budaya. Langkah kecil di Togean ini, jika konsisten, mampu menginspirasi dunia: kebudayaan adat bukan relik masa lalu, melainkan kompas menuju harmoni.
Setiap kata yang terdokumentasi adalah kemenangan—bagi Bobongko, Indonesia, dan warisan kemanusiaan yang tak ternilai. *