KEMENTERIAN Kesehatan (Kemenkes) telah meluncurkan program cek kesehatan gratis pada pekan kedua Februari 2025. Sebanyak 10.000 puskesmas dan 20.000 klinik swasta akan dilibatkan dalam program tersebut. Karena itu seluruh provinsi se-Indonesia harus bersiap-siap untuk menindaklanjuti Program Pemeriksaan Kesehatan Gratis (PKG) yang dimaksud. Dikutip dari laman dinkes.sultengprov.go.id, dalam rangka pengawasan terhadap pelaksanaan Program Pemeriksaan Kesehatan Gratis (PKG) yang merupakan bagian dari delapan Misi Asta Cita Kepemimpinan Presiden 2024-2029, Komisi IX DPR RI mengadakan kunjungan kerja spesifik ke Provinsi Sulawesi Tengah.
Kunjungan ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran lengkap mengenai kesiapan implementasi PKG di daerah tersebut serta memperoleh masukan guna optimalisasi pelaksanaannya secara nasional. PKG merupakan inisiatif Kementerian Kesehatan untuk meningkatkan kualitas hidup dan angka harapan hidup masyarakat melalui pendekatan siklus hidup. Program ini mencakup pemeriksaan kesehatan dari bayi baru lahir hingga lanjut usia, dengan fokus pada deteksi dini faktor risiko kesehatan serta upaya promotif dan preventif berbasis teknologi digital.
Sangat tampak bahwa kebijakan ini seolah pro rakyat, padahal kebijakan ini ada di tengah berbagai kebijakan zalim yang membuat rakyat sengsara, seperti kenaikan harga listrik, gas, BBM dan susahnya mendapatkan layanan publik lainnya yang menjadi hak rakyat. Kebijakan ini makin terasa sebagai kebijakan populis ketika melihat realita pelayanan kesehatan di Indonesia hari ini. Diantaranya adalah kurangnya fasilitas kesehatan terlebih di daerah 3T (Terdepan, Terluar dan Tertinggal) juga kurangnya sumber daya manusia dan sarana prasarana. Belum lagi terkait infrastruktur untuk mencapai fasilitas kesehatan.
Memang benar pelaksanaannya dilakukan secara bertahap, namun melihat tingginya angka kejahatan korupsi dan keberpihakan pembangunan untuk kalangan tertentu rawan berbagai persoalan yang justru menghambat terwujudnya program ini. Terlebih dalam sistem hari ini yang menggunakan sistem kapitalisme jelas menjadikan peran negara hanya sebagai fasilitator dan regulator.
Negara dalam sistem kapitalisme abai terhadap peran utamanya sebagai raa’in atau pengurus umat. Kapitalisme juga meniscayakan sumber pemasukan negara dari utang dan pajak sehingga ada banyak resiko gagalnya program untuk rakyat ini. Kalaupun tetap berjalan rakyat sangat mungkin mendapatkan beban tambahan misalnya kenaikan pajak, iuran BPJS dan lain sebagainya.
Inilah dampak pengelolaan kesehatan di bawah sistem kapitalisme. Kapitalisme meniscayakan kesehatan dikelola di atas prinsip komersial. Pihak swasta boleh ikut andil dalam mengelola kesehatan sebagaimana BPJS hari ini. Hadirnya BPJS kesehatan dengan prinsip asuransi menjadi fakta pengelolaan kesehatan rakyat di tangan swasta di negeri ini. Wajar saja persoalan teraksesnya kesehatan oleh seluruh rakyat dengan fasilitas dan layanan berkualitas tidak terwujud. Sebab prinsip pengelolaan kesehatan oleh pihak swasta adalah bisnis. Kesehatan tetap menjadi barang mahal. Terbukti adanya perbedaan penanganan bagi yang menggunakan BPJS dan mandiri.
Regulasi dan kebijakan pemerintah justru melegalkan kapitalisasi kesehatan sehingga kesehatan makin mahal dan sebarannya tidak merata yang mengakibatkan banyak rakyat kesulitan mengaksesnya, padahal rakyat membayar iuran kesehatan yang nominalnya pun terus naik. Pemerintah menjanjikan kesehatan menjadi prioritas anggaran, tetapi kenyataannya kesehatan tetap saja mahal dan sulit diakses.
Dalam pengelolaan Islam, kesehatan adalah layanan publik dengan hak seluruh warga negara. Islam menetapkan bahwa negara harus menyediakan secara gratis dan berkualitas untuk semua warga negara baik kaya maupun miskin, muslim dan non muslim, ini adalah wujud peran negara sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (pelindung) artinya negara wajib melayani dan bertanggung jawab sepenuhnya atas seluruh pelayanan yang diberikan negara terhadap rakyatnya termasuk kesehatan.
Dalam Islam, negara tidak akan mengeksploitasi atau menempatkan rakyat sebagai “pasar” untuk barang dan jasa kesehatan sebagaimana dalam kapitalisme. Negara menjamin dan bertanggung jawab sepenuhnya dalam penyediaan fasilitas kesehatan yang memadai, dokter dan tenaga medis yang profesional untuk memberikan layanan maksimal kesehatan. Selain itu negara membentuk badan-badan riset yang mengidentifikasi berbagai macam penyakit beserta penangkalnya.
Pada masa keemasan Islam, Bani Ibnu Thulun di Mesir memiliki masjid yang dilengkapi dengan tempat-tempat mencuci tangan, lemari tempat menyimpan minuman, obat-obatan dan dilengkapi dengan ahli pengobatan (dokter) untuk memberikan pengobatan gratis. Khalifah Bani Umayyah juga banyak membangun rumah sakit yang disediakan untuk orang yang terkena lepra dan tunanetra. Khalifah Bani Abbasyyiah mendirikan rumah sakit di Baghdad, Kairo, Damaskus dan mempopulerkan rumah sakit keliling.
Negara tatkala menerapkan seluruh aturan-aturan Islam dalam kehidupan apalagi mengatur kenegaraan dengan aturan Islam niscaya akan mampu mewujudkan layanan optimal bagi rakyat, salah satunya adalah kesehatan yang berkualitas dan gratis karena negara memiliki sumber pemasukan kas negara yang banyak. Penerapan sistem ekonomi Islam menjadikan negara adalah satu-satunya pengelola seluruh sumber daya alam dan harta milik umum seperti tambang, kekayaan laut, hutan dan sebagainya sehingga biaya pemeliharaan kesehatan rakyat sangat mungkin untuk bisa dipenuhi oleh negara.
Di sisi lain, dengan penerapan aturan Islam dalam kehidupan ini melahirkan budaya ta’awun di tengah-tengah masyarakat dan ditunjang dengan pelayanan administrasi kesehatan yang mudah, cepat dan profesional sehingga memudahkan negara dalam menciptakan layanan kesehatan bagi individu rakyat. Oleh karena itu, hadirnya negara yang diwajibkan Al-Qur’an di tengah-tengah umat ini sangatlah urgen, yakni Khilafah ‘ala minhajji nubuwwah. Wallahu A’lam.**
Penulis adalah Khadijah / Praktisi Kesehatan