Penulis : dr. Sri Wahyuni /Pemerhati Sosial
Rukun islam yang kelima adalah melaksanakan ibadah haji bagi yang mampu. Adapun yang dimaksud dengan kata mampu di sini adalah mampu secara fisik dan finansial untuk melaksanakan ibadah haji. Oleh karenanya, melaksanakan Ibadah haji di tanah suci ini adalah impian seluruh umat islam di dunia.
Selain kemampuan fisik, kemampuan finansial merupakan hal yang sangat penting bagi seseorang yang ingin melaksanakan Ibadah haji. Mengacu pada data Kementerian Agama, estimasi biaya porsi keberangkatan Haji regular berkisar pada angka Rp. 50.000.000 – Rp. 60.000.000 per jamaah. Untuk tahun 2025 sendiri biaya haji regular berkisar di angka Rp. 89.410.258,79 sesuai dengan kesepakatan Raker Kemenag dan komisi VIII DPR, BPIH 1446 H/2025 M.
Seperti dilansir dalam detik.com pada senin (14/04/2025) oleh Menag Nasaruddin bahwa rerata BPIH tahun 1446 H/2025 M sebesar Rp. 89.410.258,79, biaya ini turun dibanding rerata BPIH tahun 2024 yang mencapai Rp. 93.410.286,00. BPIH sendiri terdiri dari dua komponen; Pertama, komponen yang dibayar langsung oleh jamaah haji atau Biaya Perjalanan ibadah haji (BIPIH). Kedua, komponen nilai manfaat yang bersumber dari hasil optimalisasi dana setoran awal jamaah haji.
Berikut rincian biaya BPIH tahun 2025 yang terdiri dari : Rp. 55.431.750,78 dibayar oleh calon Jemaah sebagai Biaya Perjalanan Ibadah haji (Bipih) dan Rp. 33.978.508,01 yang ditanggung dari nilai manfaat dana haji. Jadi calon jamaah haji regular tahun 2025 perlu mempersiapkan dana pelunasan sekitar Rp. 30.000.000.
Melihat angka- angka fantastis tersebut, memang dikatakan benar bahwa biaya haji di Indonesia adalah paling mahal dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia. Penyebabnya adalah seperti dikatakan oleh pengamat Haji dan umrah UIN Syarif Hidayatullah kepada CNN Indonesia.com, Senin (5/5/2025) bahwa jamaah Haji Indonesia menginap di Arab Saudi lebih lama sekitar 40 hari, sementara jamaah haji Malaysia hanya menginap (di Arab Saudi) 30 – 35 hari.
Berdasar pada kenyataan diatas maka Presiden Indonesia Prabowo telah meminta untuk biaya haji ini dapat diturunkan. Walaupun oleh Kemenag telah menurunkan biaya haji hingga Rp. 4.000.000, namun presiden Prabowo masih belum puas dan meminta agar biaya haji diturunkan hingga lebih murah dari Malaysia.
Sementara itu Menteri Agama Nasaruddin Umar, menyatakan akan terus berupaya untuk memangkas sejumlah pengeluaran demi menurunkan biaya haji. Pemerintah akan melakukan negosiasi, soal komponen biaya haji di antaranya penginapan, bus hingga biaya tiket pesawat.
Ketua Komisi VIII DPR RI, Marwan Dasopang menyatakan ada banyak komponen yang masih bisa ditekan untuk mengurangi biaya haji bagi jamaah. Permintaan Presiden Prabowo untuk menurunkan biaya haji, bisa menjadi angin segar baru, bagi jemaah haji Indonesia di tahun depan, namun pelayanan pada jemaah harus tetap terjamin. Dikutip dari Kompas TV.com (6/5/2025)
PENGURUSAN HAJI OLEH BPKH
BPKH merupakan lembaga negara yang bertugas mengelola dana haji dari calon jemaah haji secara syariah sesuai dengan amanah Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 yang tugas pokok, dan fungsinya diatur lebih lanjut dalam Perpres Nomor 110 Tahun 2017 tentang BPKH, Keppres Nomor 101/P Tahun 2022 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Anggota Dewan Pengawas dan Anggota Badan Pelaksana BPKH, serta PP Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan UU Nomor 34 Tahun 2014.
Dalam rangka memenuhi permintaan untuk menurunkan biaya haji diharapkan BPKH untuk berinvestasi lebih cerdas lagi agar keuntungannya bisa bertambah banyak yang pada akhirnya bakal mengurangi beban jamaah alias Bipih yang dibayarkan. Sebagaimana kita ketahui bahwa sejak tahun 2018 pengelolaan dana haji yang dikelola oleh Kementerian Agama, telah dialihkan kepada Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).
Dana haji yang dikelola oleh BPKH bersumber dari setoran BPIH dan/atau BPIH Khusus, dana efisiensi penyelenggaraan Ibadah haji, dana Abadi Umat, nilai manfaat keuangan haji dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat, dikelola berdasarkan pada prinsip syariah, prinsip kehati-hatian, manfaat, nirlaba, transparan dan akuntabel.
TATA KELOLA HAJI DI ERA KAPITALISME
Dilansir dalam CNN Indonesia, selasa (6/5/2025), menurut Pengamat Haji dan Umrah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Dadi Darmadi, ide Presiden Prabowo soal penurunan biaya haji dengan melakukan pembangunan ‘Kampung Indonesia’ di dekat Masjidil Haram, berpotensi menekan biaya penginapan jemaah karena tidak perlu menyewa hotel mahal.
Namun, cara tersebut perlu investasi besar di awal. Pemerintah Indonesia juga mesti pandai melakukan lobi-lobi khusus untuk mengantongi izin di Tanah Suci. Selain itu Dadi Darmadi juga berpesan jangan sampai negara kembali ke cara-cara lama, termasuk “skema Ponzi” yang ramai dikritik sejumlah pihak.
Kala itu pembagian nilai manfaat dari BPKH lebih besar mensubsidi jamaah haji tahun berjalan dibandingkan yang diterima jamaah tunggu. Tambal sulam tersebut pada akhirnya berpotensi menggerus uang setoran jamaah yang dikelola oleh BPKH.
Dari fakta-fakta tertulis diatas, muncul pertanyaan bagaimana sistem kapitalisme bisa mempengaruhi pelaksaaan ibadah yang seharusnya menjadi ibadah murni namun oleh beberapa pihak dilihat pengelolaan haji ini sebagai kesempatan bisnis, yang ujungnya akan menimbulkan masalah seperti gratifikasi, kecurangan dan fokus yang bergeser dari pelayanan jamaah menuju keuntungan finansial.
Karl marx dalam teorinya mengemukakan bahwa kapitalisme adalah sistem ekonomi di mana produksi dan distribusi barang serta jasa dikelola oleh entitas swasta dengan tujuan utama mendapatkan keuntungan. Dalam sistem kapitalisme, komersialisasi ibadah haji dapat dilihat sebagai bentuk eksploitasi dimana keuntungan finansial menjadi prioritas utama, mengesampingkan aspek spiritual dan pelayanan terhadap jamaah haji yang seharusnya menjadi fokus utama.
Era kapitalisme, dana haji yang disetorkan oleh jamaah akan dikelola dan digunakan untuk investasi. Artinya setoran awal dana haji dari jamaah yang terkumpul itu daripada hanya tersimpan lebih baik dimanfaatkan untuk investasi yang akhirnya akan memperoleh keuntungan besar. Dari sini jelas sekali bahwa pengelolaan dana haji itu tidak tepat. Karena jamaah tahunya bahwa setoran awal dana haji itu untuk angsuran biaya haji bukan untuk investasi.
Beginilah jadinya tata Kelola penyelenggaran haji oleh pemerintah dalam sistem kapitalisme yang hanya bertumpu pada asas manfaat dan kesempatan berbisnis. Kebijakan- kebijakan yang dikeluarkan diharapkan menjadi solusi penyelesaian masalah namun akhirnya hanya menimbulkan masalah baru sehingga terlihat seperti solusi tambal sulam saja. Seperti kebijakan pengalihan penyelenggaraan ibadah haji yang dulunya ditangani oleh Kementerian Agama, namun pada tahun 2026 mendatang akan ditangani oleh Badan Penyelenggara Haji (BP Haji). Pengalihan ini diharapkan agar penyelenggaraan haji kedepannya bisa lebih efisien.
Berdasarkan pembahasan diatas maka diperoleh fakta bahwa dibalik polemik penurunan biaya haji dan pengalihan penyelenggaran Ibadah haji termasuk tata kelola keuangan Ibadah Haji dari kementerian Agama ke BP Haji dan BPKH akan tercipta suatu ekosistem haji yang akan menguntungkan dalam sektor bisnis pengelolaan haji. Sesuai yang dikatakan oleh wakil Ketua DPR RI Cucun Ahmad Syamsurijal dalam berita nasional.com, Kamis (8/52025)
TATA KELOLA HAJI DALAM ISLAM
Islam bukan sekedar agama, tapi juga sebuah sistem yang akan menetapkan negara sebagai ‘rain’ alias pelayan rakyat, bertugas mengurus rakyat dengan baik sebab pertanggung jawabannya sampai ke akhirat. Sesuai yang disebutkan dalam hadis, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR Bukhari).
Dalam Islam, negara akan dipimpin oleh seorang pemimpin (Khalifah) yang melakukan pelayanan tanpa unsur bisnis ataupun mengambil keuntungan dari ibadah haji. Semua amanah pelayanan terhadap rakyat termasuk pada jamaah haji adalah kewajiban bagi negara.
Sebagaimana dalam sejarah pemberangkatan ibadah haji di masa kekhilafahan Utsmani. Dikutip dari tulisan KH. Hafidz Abdurrahman, MA (Khadim Ma’had Syaraful Haramain), Khalifah membentuk Amirul Haj, dan menjadikan haji layaknya Muktamar Islam Akbar (acara besar).
Khalifah sebagai pemimpin negara betul-betul mempersiapkan keberangkatan para calon jamaah haji dengan kemudahan yang diberikan negara pada rakyatnya terkait akomodasi yang terjangkau bahkan tidak diperlukan visa sebab negeri-negeri muslim yang terpecah hari ini, dahulunya menjadi bagian dari wilayah yang masuk Daulah Islam. Semua dimudahkannya termasuk sarana transportasi diberikan tanpa adanya komersilisasi.
Selain sejarah diatas, salah satu kisah yang terkenal adalah bagaimana pada masa Khalifah Umar bin khattab RA yang mendirikan “Daruq-Taqwa” sebuah pos pelayanan yang menyedikan makanan dan minuman gratis bagi para jamaah haji yang melewati wilayah Hijaz.
Ia juga mengirimkan petugas yang terlatih unutk membantu jamaah dalam segala hal yang mereka butuhkan, mulai dari kebutuhan medis hingga bimbingan Ibadah. (AL-Tabari.”Tarikh al-Rusul wa al-Muluk”). Kisah lain juga menunjukkan bagaimana perhatian dari Khalifah Umar adalah ketika ia mengutus salah satu sahabat dekatnya, Abdullah bin Umar untuk mengawasi langsung pelaksanaan ibadah haji dan memastikan semua kebutuhan jamaah haji terpenuhi.
Inilah sistem tata Kelola haji dalam Negara Islam (Khilafah), dimana prinsip pelayanaan ibadah haji bukanlah ajang bisnis untuk peroleh profit tapi merupakan suatu kewajiban penting bagi negara dalam memfasilitasi penyelenggaran ibadah haji.
Penyelengaraan Ibadah haji dalam Khilafah akan diatur dengan serius, prinsip pelayanan terhadap rakyat adalah sederhana dalam sistemnya, eksekusinya cepat dan ditangani oleh orang yang professional, penetapan ongkos naik haji (ONH) akan sesuai dengan biaya yang dibutuhkan oleh para jamaah berdasarkan jarak wilayahnya dan akomodasinya, tidak ada pengaturan kuota serta tidak ada visa haji karena berada dalam satu negara yaitu Khilafah.
Sebagai kesimpulan atas solusi permasalahan yang terus berulang dalam penyelenggaraan jamaah haji yang mencerminkan kelemahan sistem saat ini maka dapat diambil beberapa Langkah-langkah kongkrit dalam sistem Islam : Pertama ; Peningkatan Infrastruktur : Negara bertanggung jawab membangun dan memelihara infrastruktur yang memadai, seperti fasilitas Kesehatan, transportasi dan akomodasi yang layak bagi jamaah haji, menciptkan lingkungan yang kondusif untuk memastikan proses haji berjalan lancar dan aman.
Kedua; Pendidikan dan Pelatihan : Petugas haji harus mendapatkan Pendidikan dan pelatiham yang sesuai untuk menangani berbagai kebutuhan jamaah dengan profesionalisme dan dedikasi tinggi. Ketiga; Pengelolaan keuangan yang transparan : Dana haji harus dikelola dengan transparan dan akuntabel, memastikan bahwa setiap dana yang digunakan untuk kesejahteraan jamaah.
Langkah-langkah ini bisa dilaksanakan dengan baik bila institusi pemerintah menerapkan sistem Islam secara kaffah. Dibawah Daulah Khilafah, penerapan syariat Islam akan terlaksana secara sempurna sehingga penyelenggaraan Ibadah Haji yang murah, aman dan nyaman akan terwujud. Wallahu a’lam bisshowab.*