Oleh: Prof. Dr. H. Slamet Riadi Cante, M.Si (Penulis adalah Guru Besar Bidang Kebijakan Publik FISIP Untad)
BANJIR bandang yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia, termasuk Sumatera dan Aceh, semestinya tidak dipandang sekadar musibah musiman. Peristiwa ini menyimpan pesan penting tentang bagaimana sebuah daerah mengelola lingkungannya. Dan bagi Sulawesi Tengah (Sulteng), bencana tersebut adalah cermin yang seharusnya membuat kita lebih mawas diri.
Sulteng memiliki bentang alam yang indah sekaligus rentan. Pengalaman pahit gempa, tsunami, dan likuefaksi pada 2018, sudah menjadi peringatan keras bahwa daerah ini tidak boleh mengabaikan aspek lingkungan dalam setiap aktivitas pembangunan. Namun, hingga kini masih banyak aktivitas eksploitasi alam yang berjalan tanpa pengawasan memadai.
Perizinan yang Lemah, Ancaman Bencana yang Kian Dekat: Birokrasi pemerintah memainkan peran sangat penting sebagai garda paling awal dalam menjaga lingkungan. Pemberian izin investasi, terutama di sektor pertambangan dan pembangunan berbasis lahan, harus dilakukan dengan komitmen dan ketegasan yang tinggi. Setiap izin berarti memberikan hak kepada pihak tertentu untuk memanfaatkan ruang hidup masyarakat—dan itu tidak boleh dilakukan secara sembarangan.
Sayangnya, komitmen tersebut terkadang melemah ketika berhadapan dengan kepentingan ekonomi jangka pendek. Padahal, kerusakan yang ditimbulkan dapat jauh lebih besar dan merugikan masyarakat luas. Di sinilah banjir bandang di Sumatera dan Aceh harus menjadi alarm keras bagi pemerintah Sulteng.
Tambang dan Ancaman Banjir Bandang: Aktivitas pertambangan di Poboya, Buluri, dan juga di Morowali, dan sejumlah daerah lainnya, telah lama menjadi perhatian publik. Tanpa pengawasan yang ketat, tambang dapat menjadi sumber pencemaran, merusak ekosistem, dan memperbesar risiko bencana, termasuk banjir bandang. Pembukaan lahan, pembuangan limbah, hingga berubahnya struktur tanah membuat daerah sekitar lebih rentan. Sanksi tegas harus diberlakukan terhadap perusahaan yang tidak mematuhi aturan pengelolaan lingkungan. Tidak ada kompromi dalam hal ini. Investasi yang tidak bertanggung jawab akan menjadi beban panjang bagi masyarakat.
Investasi Penting, Namun Risiko Juga Tidak Bisa Diabaikan: Masyarakat Sulteng pada dasarnya mengapresiasi kehadiran investor. Mereka mampu menyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD), membuka lapangan kerja, dan mendorong ekonomi lokal. Namun, ketika keberadaan mereka justru menimbulkan musibah yang lebih besar, maka masyarakat pula yang akan menanggung akibatnya. Oleh karena itu, kehati-hatian menjadi kunci. Pembangunan ekonomi tidak boleh mengorbankan keamanan ekologis.
Ancaman dari Pengerukan Bukit di Palu Timur dan Mantikulore: Fenomena pengerukan bukit di Palu Timur dan Mantikulore untuk kepentingan pribadi, bisnis, maupun pembangunan kantor, menjadi persoalan serius. Penebangan pohon tanpa reboisasi hanya memperbesar risiko longsor dan mengganggu keseimbangan ekosistem. Palu adalah wilayah yang masih terus belajar pulih dari bencana besar. Kehilangan vegetasi secara masif dapat memperburuk kondisi geografis dan memperbesar potensi bencana di masa depan.
Menjaga Lingkungan Adalah Investasi Terbesar: Kini, Sulteng perlu melihat kembali caranya mengelola ruang dan alam. Pembangunan tidak harus berhenti, tetapi harus diarahkan menjadi pembangunan yang berkelanjutan—pembangunan yang tidak hanya mengejar keuntungan, tetapi juga menjaga keselamatan lingkungan dan masyarakat. Banjir bandang di Sumatera dan Aceh adalah pelajaran pahit yang seharusnya membuka mata kita. Jika Sulteng tidak belajar dari peristiwa tersebut, bukan tidak mungkin bencana serupa menimpa kita. Dan saat itu terjadi, penyesalan tidak lagi berguna. Menjaga lingkungan bukan sekadar tugas pemerintah atau aktivis. Ini adalah tanggung jawab bersama—karena pada akhirnya, kitalah yang akan merasakan akibatnya. Mari jaga Kota Palu, mari jaga Sulawesi Tengah.(*)



