-2.4 C
New York
Jumat, Desember 12, 2025

Buy now

spot_img

Indang: Seni Islam yang Menggetarkan Ranah Minang

Oleh: Avina Amanda/ Mahasiswa Universitas Andalas

Jika Barzanji adalah suara doa, maka Indang adalah denyut irama yang menghidupkannya. Di berbagai nagari di pesisir Sumatera Barat, tabuhan rebana kecil dan lantunan syair Islam yang padu dikenal sebagai Indang, seni tradisional Minangkabau yang memadukan musik, gerak, dan spiritualitas.

Tradisi ini dipercaya muncul seiring dengan penyebaran Islam oleh para ulama pada abad ke-14. Para syekh tarekat yang datang ke Minangkabau menggunakan seni sebagai sarana dakwah agar ajaran Islam mudah diterima masyarakat. Dari surau ke surau, tabuhan Indang menggema sebagai sarana mengajarkan zikir, syair, dan pesan moral.

Pertunjukan Indang biasanya dilakukan oleh sekelompok laki-laki duduk berbaris melingkar, menepuk rebana kecil secara ritmis sambil menyanyikan syair berbahasa Arab atau Minangkabau. Gerakan kepala dan tangan mereka serempak mengikuti tempo yang kian cepat, menggambarkan semangat kebersamaan dan kedekatan spiritual.

Menurut budayawan Emral Djamal Dt. Rajo Mudo, “Indang adalah cara masyarakat Minangkabau merayakan iman dengan riang. Ia mengajarkan kedisiplinan, kerja sama, dan ketulusan hati.”

Nilai itu terlihat jelas dari kekompakan setiap pemain. Tak satu pun boleh mendominasi; harmoni hanya muncul bila semua mengikuti irama yang sama, sebuah metafora indah tentang persatuan umat.

Selain fungsi religius, Indang juga memiliki nilai sosial. Ia menjadi sarana pertemuan masyarakat, terutama di malam hari setelah shalat Isya. Orang-orang berkumpul di surau, mendengarkan alunan Indang, berbagi kabar, bahkan menyelesaikan persoalan sehari-hari dengan damai. Dalam konteks ini, Indang bukan sekadar seni pertunjukan, tetapi ruang sosial yang menanamkan kesantunan dan solidaritas.

Syair-syair Indang sering berisi ajakan untuk berbuat baik, menghormati orang tua, dan menjauhi perbuatan sia-sia. Beberapa lagu bahkan menyindir dengan halus perilaku yang tidak sesuai adat atau agama. Maka tak heran bila masyarakat menyebut Indang sebagai “madrasah kecil dalam bentuk seni.”

Kini, meski dihadapkan pada modernisasi, Indang masih bertahan di banyak daerah seperti Pariaman, Ulakan, dan Padang Pariaman. Komunitas seniman muda terus menghidupkan tradisi ini melalui festival seni dan pementasan lintas daerah. Upaya itu memperlihatkan bahwa Indang tetap relevan: ia mengajarkan bahwa kebersamaan, iman, dan seni dapat berpadu dalam satu irama yang suci.

Indang adalah cermin masyarakat Minangkabau yang religius sekaligus ekspresif. Melalui tepukan rebana dan lantunan zikir, ia mengingatkan bahwa keindahan seni sejati lahir dari ketulusan hati dan kekompakan jiwa.*

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img

Latest Articles